CUNGKRING
Episode3
Oleh Riska Ramdiani
(Untuk SUN yang kurindu)
Aku pernah menulisnya
dalam sebuah puisi yang sedih, sebelum media menghapusku secara perlahan dalam
episode harinya. Namun, siang ini, tiba-tiba temanku menyebut lagi namamu. Tak dapat
memunafikan diri, jantungku berdetak kencang mendengarnya. Diapun memintaku
untuk mengantarnya bertemu denganmu, Cungkring. Selama perjalanan, hatiku tak
karuan. Aku tersenyum sendiri dan otakku mencari ide apa yang harus kulakukan
di depanmu, di depan orang yang telah membuatku merasakan jatuh cinta kembali.
Ah, kau kini berada di
depanku. Kakiku terasa gemetar, mulutku terasa kaku. Aku benar-benar membenci
suasana seperti ini, membenci suasana yang membuatku bingung harus berbuat apa.
Lagi-lagi suara yang akrab ditelinga terdengar. Lama aku menunggu kau bersua. Cungkring,
kau berhasil mencuri mata. Siang ini kita dipertemukan dengan raga yang hanya
sedepa. Senyummu itu entah bermakna apa,
namun senyum itu akan kuanggap sebagai senyum ucapan “selamat datang”.
Kita larut dalam perbincangan,
bertanya dan menjawab dengan hal yang membuat pendengar tertawa kegelian. Lalu kau
berkata, “Jangan menatapku!”, aku hanya tersenyum dan menggerutu dalam hati, “Andai
kubisa menatapmu lebih lama, andai aku diizinkan untuk memelukmu yang hanya
sedepa dariku, andai langit mengizinkannya.”
Ketika kau berdiri
disampingku yang hanya sedepa itu betapa bahagianya bisa menatap wajahmu dengan
dekat, betapa kunikmati detak jantung yang tak menentu ini. Kau tahu, Cungkring?
Yang kutakutkan pada pertemuan tadi adalah aku takut ketahuan, ketahuan
diam-diam mencuri menatap wajah indahmu. Candamu yang mengagetkanku, memegang
tubuh kiri dan kananku, tinju kecil tanganmu tadi, aku akan mengingatnya. Aku akan
selalu mengingat tatapan matamu, siluet tubuhmu, gaya rambutmu, bahkan desahan
napasmu, aku akan mengingatnya.
Cungkring, mengapa langit
begitu tak adil? Mengutukku dengan mengagumi dengan hal yang tak tersentuh. Mengapa semesta tak memberi iba? Membiarkanku
menyimpan rasa yang tak termaafkan. Mengapa angin tak begitu peka? Untuk
membiarkanku memeluk tubuh kecilmu. Cungkring, aku sangat menyedihkan. Tak
mampu membuat rasa menjadi sebuah kenangan. Semoga langit memberikanku kesempatan
untuk berada di sampingmu dengan waktu yang lebih lama, agar kata yang ada di
hati tersampaikan. Dia sudah seperti mempunyai tempat tidur sendiri di relung
hati ini, dia kini telah terbangun dari tidur panjangnya, sehingga dia dengan
seenaknya saja menganggu malam-malam tidurku.
Meski aku berusaha
menghapusnya, wajahnya
tetap saja
terlukis di langit itu. Sungguh,
aku tersiksa dengan semua ini. Telah puas aku menunggu dan berkhayal
tentangnya, tapi aku tak bisa menyentuh wajah indahnya. Bahkan jika aku
diberikan satu permintaan, Tuhan, izinkan aku untuk mencium bibirnya sekali
saja untuk membiarkan dia pergi, melepaskan dia jika memang Kau tak menakdirkan
dia bukan untukku, setidaknya aku pernah merasakan dinginnya bibir itu.
No comments:
Post a Comment