https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home Kumpulan puisi, cerpen, artikel, makalah, teks pidato, dan berbagai informasi lainnya.: NASKAH DRAMA "GURU" Diadopsi dari cerpen “GURU” karya Putu Wijaya https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home

Saturday, July 5, 2014

NASKAH DRAMA "GURU" Diadopsi dari cerpen “GURU” karya Putu Wijaya



NASKAH DRAMA “GURU”
Karya: Riska Ramdiani
NIM: 12211029
Kelas: 2A
Diadopsi dari cerpen “GURU” karya Putu Wijaya
Tokoh:
1.      Taksu                     : sebagai seorang anak yang teguh  akan pendiriannya, yang
mempunyai watak penyabar.
2.      Bapak                    : sebagai seorang Ayah yang memiliki sifat keras kepala,
pemarah, suka meremehkan suatu profesi tetapi penyayang
3.      Ibu                         : sebagai seorang Ibu yang memiliki sifat yang keras tetapi
penyayang.
Menjadi seorang guru bukan hanya mengajar, menjadi seorang guru tetapi juga dapat dimaknai sebagai panutan yang dapat menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa.
Drama ini terjadi dengan konflik kesalah pahaman antara seorang anak dengan orang tuanya dalam mengartikan profesi atau sebuah cita-cita menjadi seorang guru. Seorang anak yang terlahir dari keluarga yang serba cukup, dari keluarga yang penuh pendirian akan prinsipnya, dari keluarga yang mempertahankan dan menjaga kehormatan.
Tujuan hidup seorang anak memang menjadi hal yang utama bagi orang tua. Sebagai orang tua hendaknya selalu mendukung keputusan anaknya jika keputusan itu adalah hal yang mulia yang dipilih dan diyakini sang anak. Cita-cita yang ingin dicapai seorang anak dengan proses yang tidak mudah hingga akhirnya sukses dan menjadi kebanggaan keluarga dan dunia, meskipun sebelumnya keputusan untuk mencapai cita-cita itu ditentang oleh orang tuanya.
BABAK 1: di kosan Taksu
KEKHAWATIRAN AYAH DAN IBU KARENA MENDENGAR SELENTINGAN BAHWA ANAKNYA YANG BERNAMA TAKSU BERCITA-CITA INGIN MENJADI SEORANG GURU. BAGI AYAH DAN IBU HAL INI ADALAH SEBUAH MALAPETAKA, MENURUT MEREKA MENJADI SEORANG GURU MASA DEPANNYA SANGAT SURAM DAN TIDAK AKAN MENJANJIKAN SEBUAH KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK DI MASA YANG AKAN DATANG. KARENA KEKHAWATIRAN ITULAH AYAH DAN IBU MENEMUI TAKSU DISEBUAH KOSANNYA, DAN BERTANYA AKAN KEKHAWATIRAN YANG MEREKA RASAKAN. DISEBUAH KOSAN YANG BERCAT PUTIH, PINTU YANG BERWARNA CAT COKLAT LEMBUT, KURSI SUDUT YANG TERLIHAT MASIH BARU, TEMPAT TIDUR YANG TERLIHAT MASIH EMPUK, DI SANA TERLIHAT TAKSU SEDANG SIBUK MEMBACA SEBUAH BUKU DI KURSI SUDUTNYA, AYAH DUDUK DIKURSI SUDUT SAMBIL MEMPERHATIKAN TAKSU, DAN IBU DUDUK DI KURSI SUDUT DI SAMPING TAKSU MENGELUS KEPALA TAKSU DENGAN LEMBUT.
Bapak  : Kami dengar selentingan, kamu mau menjadi guru, Taksu?
Betul?! (memandang ke luar jendela)
Taksu   : Betul Pak! (menggangguk mantap, membuka halaman buku selanjutnya)
Ibu       : (kaget dan berhenti mengelus kepala Taksu)
Bapak  : Gila, masa kamu mau jadi g-u-r-u?
Taksu   : Iya Pak, saya mau menjadi seorang guru.
Bapak  : Taksu! (berteriak dan menatap tajam Taksu)
Taksu   : Iya Pak, Bu. (tampak tenang tak bersalah)
Ibu       : (menarik naafas dalam-dalam karena kecewa, lalu keluar dari kostan Taksu)
Taksu   : Bu, Ibu mau kemana?
Bapak  : Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!
Taksu   : Tapi saya mau jadi guru.
Bapak  : Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain?
Taksu   : Ada, tapi saya ingin menjadi guru pak.
Bapak  : Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru?
Taksu   : Iya, Guru. Tetap menjadi guru pak.
Bapak  : Astaga, Taksu. Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!
Taksu   : Sudah saya pikir masak-masak (menutup buku)
Bapak  : (terkejut dan berdiri dari tempat duduknya)
Pikirkan sekali lagi! Bapak kasih waktu kamu satu bulan untuk memikirkannya!
Taksu   : (menggeleng)
Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin menjadi guru.
Bapak  : Tidak! Kamu pikirkan saja dulu satu bulan lagi, Taksu. (melangkahkan kaki keluar kostan, meninggalkan Taksu dengan hati panas)
BABAK 2 : di halaman kosan Taksu
BAPAK KELUAR DARI KOSAN TAKSU DAN MELIHAT ISTRINYA SEDANG MENUNGGU DI DEPAN PINTU KOSAN TAKSU.
Ibu       : Tuh, Lihat! Anak kamu kelakuannya bikin saya naik darah.
Bapak  : Bukannya dia anak Ibu juga?
Ibu       : Tapi kau Ayahnya.
Bapak  : Iya, dan kau yang melahirkannya.
Ibu       : Ah. Mendidik anak itu yang benar, jangan seperti itu. Lihatlah atas didikan Bapak itu Taksu jadi cupet pikirannya.
Bapak  : (menyulut rokok)
Ibu       : Kau terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!
Bapak  : (diam, tetap menyulut rokok)
Ibu       : Kenapa kau diam? Memang Bapak tidak becus! (melangkahkan kaki pergi masuk ke dalam mobil)
Bapak  : (membuang rokok dan menginjaknya)
Ah, istri saya memang aneh sekali. Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya.
Ibu       : Cepat kemari, kita pulang! (berteriak)
Bapak  : Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, waduh seperti kecambah yang tidak pernah tumbuh. (mendengus, mengadap kepada penonton seolah-olah mengajak berbicara penonton)
BABAK 3 : di kosan Taksu
DUA BULAN KEMUDIAN BAPAK DAN IBU DATANG LAGI MENGUNJUNGI TAKSU DI TEMPAT KOSNYA. IBU MEMBAWA KRUPUK KULIT IKAN KEGEMARAN TAKSU. BAPAK MEMBAWA SEBUAH LAPTOP BARU YANG PALING CANGGIH SEBAGAI KEJUTAN UNTUK TAKSU. BAPAK DAN IBU MENGHARAPKAN AGAR TAKSU BAHAGIA, MESKI HATI BAPAK DAN IBU SANGAT TERPUKUL AKAN PERNYATAAN YANG AKAN DIDENGAR DARI ANAK SEMATA WAYANGNYA.
Ibu       : Assalamualaikum.. (mengetuk pintu)
Taksu   : Waalaikumsalam.. (membuka pintu)
Bapak, Ibu. Silahkan masuk, aku sangat merindukan kalian. (mencium tangan Bapak dan Ibu)
Mari duduk di sini!
Ibu       : Kami juga merindukan kamu, Nak. (tersenyum lembut)
Taksu   : Hari ini Ibu terlihat sangat cantik dengan kerudung warna merah muda ini, Ibu memang surga terindah yang terlihat nyata di jagad raya ini (memeluk Ibu)
Ibu       : Taksu, kau memang anak yang baik.
Taksu   : Ibu pejuang besar sejak hari pertama dalam hidup saya, Ibu penjaga terhebat sejak hari pertama dalam hidup saya, Ibu pahlawan tergagah sejak hari pertama dalam sejarah hidup saya, dan Ibu adalah guru bagi hidup dan mati saya.
Ibu       : Apa? Guru? (heran)
Taksu   : Iya.
Ibu       : Ah. (kesal)
Taksu, Lihat ini! Ibu membawakan kerupuk kulit kegemaranmu. (menyodorkan kerupuk kulit)
Taksu   : Wah, sudah lama aku tak makan kerupuk kulit. Terimakasih Bu! (tersenyum bahagia)
Bapak  : Dan ini Taksu, Bapak belikan kamu laptop baru yang paling canggih untukmu, anak semata wayang Bapak. Anak yang akan menjadi penolong kami dikala kami tua nanti. (menyodorkan laptop)
Taksu   : Terimakasih Pak, ini akan sangat bermanfaat sekali bagiku. Akan aku gunakan sebaik-baiknya. (tersenyum bahagia)
Bapak  : Ya, tapi jangan kau gunakan untuk mengejar cita-citamu sebagai guru.
Taksu   : (menggeleng)
Bapak  : Jadi bagaimana? Kau ingin menjadi apa, Taksu?
Taksu   : Sudah saya bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak. (berbicara datar tanpa rasa berdosa)
Ibu       : Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?! (membentak)
Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa.
Taksu   : Itu memang benar adanya, Bu.
Ibu       : Ahh! Itu bohong! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Hah?
Taksu   : (diam tidak menjawab, menatap kosong langit-langit)
Ibu       : Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, Negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji.
Taksu   : Ibu..
Ibu       : Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli dibayar.
Bapak  : Ya, ya.
Ibu       : Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu masih mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?
Taksu   : (tidak menjawab)
Ibu       : Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji, kan kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Nah, yang konkret itu adalah duit, Taksu.
Bapak  : Ya, duit Taksu duit!
Ibu       : Kamu jangan takut dituduh materialistis. Siapa bilang materialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang benar saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna?
Taksu   : (tetap diam)
Ibu       : Paham kamu, Taksu?
Taksu   : (mengangguk)
            Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?
Ibu       : (melotot)
Laptopnya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!
Bapak  : Iya, dan
Ibu       : (buru-buru keluar kosan dan menarik tangan Bapak)
Ibu       : Sudah waktunya membuat shock terapi pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam.
Bapak  : Mungkin dia memerlukan perhatian kita, Bu.
Ibu       : Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan laptop tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasihat kita!
Bapak  : (menggeleng, mengkerutkan kening)
            Tapi Bu.
Ibu       : Ah, sudahlah mari kita pulang. Kepala saya rasanya mau meledak! (mengibaskan kipasnya)
BAPAK DAN IBU PUN PERGI KE RUMAH MEREKA DAN MENINGGALKAN TAKSU SEORANG DIRI DI TEMPAT KOSNYA.
BABAK 5 : di kosan Taksu
TIGA BULAN KEMUDIAN TAKSU MELAMUN SEORANG DIRI, TIBA-TIBA BAPAK DATANG MENEMUI TAKSU TANPA DIKETAHUI OLEH IBU. BAPAK DATANG DENGAN MEMBAWA KUNCI MOBIL. BAPAK SENGAJA MENARIK DEPOSITONYA DI BANK DAN MENGAMBIL KREDIT SEBUAH MOBIL.
Taksu   : Lembayung di senja yang terdengar hanya suara yang tak memiliki makna. Rintikan hujan memberi alunan kegelisahan. Setiap tetesnya hitungan kegelisahan. Apa yang dinanti? Hanya ada belenggu angan di hati. Aku pilu dengan sejuta impian. Impian yang terbungkus dengan kabut. Ku tiup, ku lepaskan kabut itu, aku meronta dalam kabut keabuan. (menatap kosong ruangan, kata-kata itu menggantung di langit-langit)
Bapak  : (membuka pintu)
Taksu?
Taksu   : Bapak? (kaget)
Sejak kapan Bapak ada di sini?
Bapak  : Bagaimana Taksu? Ini hadiah untuk kamu, dan kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak. (menunjukan kunci mobil)
Taksu   : (melihat kunci mobil dengan dingin)
Hadiah apa, Pak? (mengambil kunci mobil yang ditunjukan Bapak)
Bapak  : (tersenyum getir)
Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?
Taksu   : (memandang tajam Bapak)
Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?
Bapak  : (merebut kunci mobil yang dipegang Taksu)
Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru.
Taksu   : Kenapa?
Bapak  : Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan menjadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Membuat Bapak malu, membuat Ibu malu.
Taksu   : Pak..
Bapak  : Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti.
Taksu   : (diam)
Bapak  : Bercita-citalah yang benar, setinggi langit. Taklukanlah seluruh isi bumi ini. Biar kau menjadi payung dikala hujan, biar kau menjadi bintang paling terang dikala malam, Taksu. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila!
Taksu   : Sungguh, Pak. Menjadi guru pula akan lebih dari itu. Aku akan menjadi seorang guru yang selalu hadir disetiap musim berganti, akan selalu mengejar cahaya terang meski ke belahan dunia lain. Aku akan membangun rumah disetiap telaga sebagai pengobat rasa haus umat manusia, dan.. dan..
Bapak  : Dan apa? Alaaaaaaah, payah! Menjadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran! Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu! Ini, ambil! (memberikan kunci mobil dan meletakkan kunci mobil di depan hidung Taksu)
Taksu   : (berpikir, memungut kunci mobil)
Bapak  : (tersenyum bahagia, merasa menang)
Taksu   : Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak. Saya ingin jadi guru. Maaf. (menarik tangan Bapak dan menaruhkan kunci mobil di atas telapak tangan Bapak)
Bapak  : (mengepalkan telapak tangan menahan emosi yang tak tertahankan)
Baiklah. (memasukkan kunci mobil ke kantung celana)
Taksu   : (menundukkan kepala)
Bapak  : Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur dan pelangi pasti akan datang setelah redanya hujan. Tapi tak apa.
BAPAK PUN BERGEGAS PERGI DENGAN EMOSI YANG MENGGEBU-GEBU DAN  PIKIRANNYA DIPENUHI DENGAN BERJUTA PERTANYAAN JUGA TUDUHAN KEPADA MINA PACAR TAKSU. MENUDUH MINA YANG TELAH MEMBUAT TAKSU INGIN MENJADI GURU.
BABAK 6 : di kosan Taksu
TIGA BULAN KEMUDIAN BAPAK DATANG LAGI MENEMUI TAKSU DENGAN MEMBAWA KUNCI MOBIL MEWAH. TAKSU TIDAK LAGI MELAMUN, TAKSU SEDANG BERBARING DI TEMPAT TIDURNYA.
Bapak  : Taksu? (berteriak)
Taksu   : Bapak? Ada..
Bapak  : Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?
Taksu   : Mau jadi guru.
Bapak  : (memukul ke atas meja dengan emosi yang tak tertahankan, gelas di atas meja meloncat, kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka Bapak)
Tetapi kenapa? kenapa? apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!
Taksu   : Karena saya ingin jadi guru.
Bapak  : Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru! (membentak)
Taksu   : Saya mau jadi guru. Dimana letak kesalahan itu sehingga sulit mendapat restumu, Pak? Kau tapsirkan cita-cita saya menjadi guru ke arah yang keliru. Saya hanyalah perahu nelayan, sangat sulit untuk mengatur arah meyakinkan Bapak. Saya berusaha menurunkan jangkar perahu agar saya bisa bertahan dari kerasnya samudra. Keputusan saya menjadi guru sudah menancap di dasar laut. Saya tidak bisa merubah keputusan ini. Saya mohon jadilah samudra yang tenang. Jika memang takkan kau beri itu, tolong biarkan saya untuk menikmati harapan menjadi guru ini sampai habis waktunya.
Bapak  : Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru (mengepalkan tangan siap meninju Taksu)
Taksu   : Apa? (menatap tajam Bapak)
Bapak  : Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!! (teriak kalap)
Taksu   : Bapak tidak akan bisa membunuh saya (menatap tajam)
Bapak  : Tidak? Kenapa tidak?
Taksu   : Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak.
Bapak  : (tercengang)
O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?
Taksu   : Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati. (tegas menjawab)
Bapak : (bengong, gugup)
Bangsat! Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?
Taksu   : (memandang tajam Bapak)
Bapak  : Siapa Taksu?
Taksu   : (menunjuk)
Bapak sendiri, kan?
Bapak  : (terkejut)
Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain, Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu!
Taksu   : Lalu?
Bapak  : Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?
Taksu   : Maka dari itu.
Bapak  : Apa?
Taksu   : Saya bisa seperti ini karena guru, bukan? Maka dari itu saya ingin membuat semua orang menjadi seperti saya.
Bapak  : Apa maksudmu? Kau  telah dicekoki oleh si Mina pacarmu yang mentang-mentang cantik itu? Iya? Mau menyeret kamu ke masa depan yang gelap? Hah? Jawab! (membentak)
Taksu   : Cinta itu buta, Pak.
Bapak  : Tidak betul cinta itu buta! (membentak kalap)
Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini.
Taksu   : Apa maksud Bapak?
Bapak  : Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa?
Taksu   : Buat..
Bapak  : Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab.
Taksu   : Dengan menyembahnya?!
Bapak  : Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini! (menggebrakkan kunci mobil BMW di depan matanya dengan sangat marah)
Taksu   : (tercengang)
Bapak  : Ini satu milyar tahu?! (mengambil kunci mobil kembali dan bergegas hendak pergi)
Pulang sekarang dan  minta maaf kepada Ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!
TANPA MENUNGGU JAWABAN DARI TAKSU, BAPAK BERGEGAS PULANG
BABAK 7 : di rumah Bapak dan Ibu
IBU SEDANG DUDUK DIKURSI GOYANG SAMBIL MENYEDUH TEH MANIS DAN MEMAKAN KERUPUK KULIT. TIBA-TIBA DATANGLAH BAPAK DENGAN TERGESA-GESA DAN EMOSI YANG MENGGEBU-GEBU.
Ibu       : (menyeduh teh)
Bapak  : Bu, Taksu keterlaluan. Saya sudah kalah terhadapnya, dia tidak menghargai kita sebagai orang tuanya.
Ibu       : Maksud Bapak? (memakan kerupuk kulit)
Bapak  : Tadi saya datang menemui Taksu. Saya datang dengan membawa kunci mobil BMW, mobil mewah untuk anak semata wayang kita.
Ibu       : Lantas?
Bapak  : Saya mengatakan padanya bahwa mobil mewah itu bisa dia miliki sekarang juga asalkan dia tidak menjadi guru. Namun apa yang terjadi? Dia malah tetap memberikan jawaban yang sama, dia tetap ingin menjadi guru sebagai cita-citanya. Hah! Tentu saja secara spontan Taksu saya marahi, hampir saja saya akan membunuhnya karena perangainya yang tidak mendengar nasihat orang tua.
Ibu       : (bengong)
Bapak  : Dan saya pun mengambil kembali kunci mobil itu dengan segera karena dia tetap dengan pendiriannya itu. Saya mengatakan padanya bahwa mobil mewah itu tidak pantas digunakan oleh seorang guru. Saya hebat kan, Bu?
Ibu       : Apa? Hebat? Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu! (teriak kalap)
Bapak  : (bingung)
Ibu       : Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!
Bapak  :  (mengkerutkan kening, tak tahu harus berkata apa)
Ibu       : Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!
Bapak  : Kabur? Tapi (berusaha membantah)
Ibu       : Iya Kabur, cepat temui dia! (cemas)
Bapak  : Taksu anak kita satu-satunya kabur? Tidak! Sebelas tahun kita menunggunya dengan cemas. Kita berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan, dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Taksu tidak boleh kabur! (cemas)
Ibu       : Ketika kita menyerah, akhirnya saya mengandung dan lahirlah Taksu.
Bapak  : Taksu anak yang sangat mahal, Bu. Saya tidak akan membiarkannya kabur! (bergegas pergi)
Ibu       : Ayok cepat temui anak mahal itu, Pak! (teriak kalap)
BAPAK PUN BERGEGAS PERGI MENUJU KOSAN TAKSU DENGAN PANIK. IBU MENUNGGU DENGAN CEMAS DI RUMAHNYA.
BABAK 8 : di kosan Taksu
BAPAK MENEMUI TAKSU DENGAN PANIK TAPI SUDAH TERLAMBAT, RUMAH KOS ITU SUDAH KOSONG. TAKSU PERGI MEMBAWA SEMUA BARANG-BARANGNYA, YANG TERTINGGAL HANYA SECARIK KERTAS KECIL DAN PESAN KECIL. DAN TERJADILAH PERTENGKARAN KERAS ANTARA BAPAK DAN IBU DI KAMAR KOSAN BEKAS ANAKNYA ITU.
Bapak  : Taksu? Taksu? Kau ada di dalam kan, Taksu? Nak, kau dimana? (mengehela nafas terkejut melihat ruangan kosong)
Kami tidak mau kehilangan kamu, Taksu!
Apa ini? (melihat secarik kertas dan membacanya)
“Maaf, tolong relakan saya menjadi guru.” (tangan Bapak gemetar memegang secarik kertas dari buku harian itu)
Kertas ini nilainya mungkin hanya seperak, tapi kertas ini jauh lebih berarti dari mobil BMW yang harganya semilyar yang Bapak hadiahkan untukmu, Taksu! (menangis, mengusap wajah kusutnya)
SUASANA HENING SEJENAK BERSAMA TANGISAN BAPAK. BAPAK DUDUK DI DALAM KAMAR ITU, MENCIUM BAU TAKSU YANG MASIH TERTINGGAL. PIKIRAN BAPAK KACAU.
Bapak  : Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? (menangis terisak)
Semua gara-gara si Mina itu yang telah meracuni anak semata wayang saya, anak mahal saya, anak yang akan menjadi bahu tempat kami bersandar kala jompo nanti. Semua gara-gara si Mina, perempuan licik yang telah memberikan iming-iming indah tentang definisi guru terhadap Taksu! Padahal menjadi guru itu adalah pelarian, kenyataannya banyak guru yang brengsek! (menangis terisak dengan emosi yang menggebu-gebu)
Ibu       : (membuka pintu)
Bapak  : Taksu? Itukah kau, Nak?
Ibu       : (menatap ruangan)
Taksuuuuuuu!
Bapak  : (tidak menoleh)
Ibu       : Saya merasakan firasat yang buruk, saya cemas. Maka saya menyusul ke sini. (menatap kosong)
Bapak  : (diam)
Ibu       : Apa yang terjadi? Mana Taksu? Kemana anak semata wayangku? Kemana anak mahal itu, kemana? (menangis)
Bapak  : (menggeleng)
Ibu       : Mengapa kau diam saja? Jawab! Dimana Taksu?! (berteriak)
Bapak  : Kalau saya tahu dia dimana, saya tak mungkin diam disini.
Ibu       : Kau, kau seorang Bapak, seorang suami yang tidak becus! Gara-gara kau anak mahalku kabur. Semua gara-gara kau!
Bapak  : Bukankah kau Ibunya? Kau yang seharusnya mendidik dia dengan baik, bukankah kau yang melahirkannya? Saya sudah berusaha sebaik mungkin menjadi seorang Bapak baginya, saya ingin memberikan yang terbaik baginya. Maka dari itu saya melarang dia untuk menjadi guru. (berontak)
Ibu       : Tapi kau mendidiknya dengan cara yang salah.
Bapak  : Memangnya kau sudah benar mendidiknya? Hah?
Ibu       : Kau..
Bapak  : Apa lagi? Apa yang akan kau tuduhkan lagi terhadapku? (berteriak)
Ibu       : (terkejut)
Bapak  : Kau tak pernah melihatku meneteskan air mata dan aku tak pernah melakukannya. Namun tahukah kau, istriku? Menangis tanpa air mata itu jauh amat menyakitkan. Saya lelah selalu kau tuduh, selalu kau salahkan dalam setiap hal yang membuat kau kesal.
Ibu       : (menangis)
Bapak  : Ketika gemuruh hati mulai membengkak di ruang-ruang langit asa hati terasa menyesakkan begitu pahit. Kalau pun menatap langit, walaupun berulang kali menyeka luka pahit. Tetap terlihat di pelupuk mata, begitu sakit. (menutup wajah)
Ibu       : Apa maksudmu? Aku yang lebih tersakiti disini. Gara-gara kau, anakku kabur meninggalkanku yang sebentar lagi beranjak tua! Siapa yang akan menemaniku kelak kalau bukan dia? Kau? Kau tidak bisa diandalkan!
Bapak  : Diam kau! Semuanya terasa menyesakkan, memilukan. Yang bagimu ini sukamu, yang bosannnya tetap dengan cara dan peristiwa yag sama kau buat itu untukku. Selalu menyalahkan dan membuatku seperti tak berarti.
Ibu       : Saya tidak peduli kau sesakit apa. Bagiku saat ini yang terpenting Taksu! Cari Taksu sekarang juga! Cari dia! Cepat lekas pergi, temukan dia kembali.
Bapak  : (menggebrakkan pintu, bergegas pergi dan meninggalkan Ibu sendiri)
Ibu       : Pergi! Temukan Taksu, aku teramat menyayanginya meski dia tetap pada pendiriannya. (menangis dengan emosi yang tak tertahankan)
BAPAK PUN BERGEGAS PERGI MENCARI TAKSU, SEDANGKAN IBU MENANGIS SEORANG DIRI MENCIUM SISA BAU TAKSU YANG TERTINGGAL.
BABAK 9: di rumah Bapak dan Ibu
SEPULUH TAHUN KEMUDIAN BERLALU BEGITU CEPAT. BAPAK SEDANG DUDUK DIKURSI GOYANG MEMANDANG FOTO TAKSU YANG SEDANG MEMBAWA KERUPUK KULIT DENGAN RAMBUTNYA YANG MULAI MEMUTIH. SEDANGKAN IBU SEDANG ASIK MEMAKAN KERUPUK KULIT.
Bapak  : Bu, lihat ini! Anak mahal ini, anak yang telah membuat kita bertengkar hebat, Anak yang menyebalkan. (tersenyum)
Ibu       : Iya, Pak. Tapi kini anak mahal ini sudah menjadi kebanggan kita, kebanggan dunia. (mengambil foto dari tangan Bapak)
Bapak  : Sekarang kita sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu, anak kita sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara. (tersenyum bangga)
Ibu       : Iya, Pak. Dan saya sangat bangga dan bahagia sekali ketika Taksu mendapatkan gelar doktor honoris causa dari sebuah perguruan tinggi bergengsi itu, Pak. Seorang promotor mengatakan bahwa, Taksu adalah seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja. (bibirnya melukiskan senyuman yang indah)
Semua orang bersorak-sorai menyambutnya. (memeluk foto Taksu)
Bapak  : Ya. Dan Taksu melambaikan tangan kepada kita, semua orang pun melihat kita dan mengatakan bahwa kita orang tua hebat yang telah mendidik Taksu menjadi seseorang yang patut dibanggakan. (menyentuh bahu Ibu)
Ibu       : Iya, Pak. Dan saat itu seluruh dunia iri terhadap kita. Taksu membuktikan kepada kita, Pak. Dengan pendiriannya untuk mengejar cita-cita menjadi guru itu memang sebuah cita-cita yang membanggakan. Investasi untuk di dunia juga di akhirat.
Bapak  : Memang benar, tidak ada usaha yang sia-sia. Tidak ada pekerjaan yang membuat kita miskin. Semakin keras kita berusaha maka semakin banyak hasilnya dikala panen. Ternyata kita salah dalam menafsirkan guru.
Ibu       : Memang, Pak. Ternyata guru itu adalah rajanya dari segala profesi dan cita-cita. Dan Taksu, anak kita telah memutuskan untuk mengejar cita-citanya sebagai raja profesi, sebagai guru yang akan menjadi penerang dunia dikala gelap maupun terang. Saya sangat bangga terhadapnya, Pak. (memeluk Bapak)
BAPAK DAN IBU LARUT DALAM KEBAHAGIAAN ATAS KESUKSESAN TAKSU MENJADI GURU. LANGIT PUN KINI KIAN MENGURUNG PERGI DARI SELIMUT BIRUNYA. IA MULAI TERTUTUPI AWAN JINGGA TERGANTIKAN SENJA. IA TERLIHAT MENGGEMPAL. MEMBENTUK UKIRAN NAMA TAKSU SEORANG GURU YANG HEBAT. BAPAK DAN IBU BERPELUKAN DENGAN HANGATNYA, MENYADARI BAHWA SEBAGAI ORANG TUA TIDAK BOLEH MEMAKSAKAN KEHENDAK KEPADA ANAKNYA. JANGAN MENILAI SESUATU DENGAN MATERI (UANG) TETAPI NILAILAH DENGAN KESABARAN, USAHA, DAN NIAT YANG TULUS. SEPERTI KETULUSAN GURU DALAM MEMBERIKAN ILMU, ILMU YANG AKAN TETAP ABADI BAHKAN BERKEMBANG DAN MEMBERI INSPIRASI BAGI GENERASI YANG AKAN MEMBAWA KEHIDUPAN DAN BANGSA MENUJU KESUKSESAN SEKALIPUN JASADNYA TELAH DITIMBUN TANAH.

No comments:

Post a Comment