NASKAH DRAMA “GURU”
Karya: Riska Ramdiani
NIM: 12211029
Kelas: 2A
Diadopsi dari cerpen “GURU” karya Putu Wijaya
Tokoh:
1. Taksu : sebagai seorang anak yang
teguh akan pendiriannya, yang
mempunyai
watak penyabar.
2. Bapak : sebagai seorang Ayah yang
memiliki sifat keras kepala,
pemarah, suka
meremehkan suatu profesi tetapi penyayang
3. Ibu : sebagai seorang Ibu
yang memiliki sifat yang keras tetapi
penyayang.
Menjadi seorang guru
bukan hanya mengajar, menjadi seorang guru tetapi juga dapat dimaknai sebagai
panutan yang dapat menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa.
Drama ini terjadi
dengan konflik kesalah pahaman antara seorang anak dengan orang tuanya dalam
mengartikan profesi atau sebuah cita-cita menjadi seorang guru. Seorang anak
yang terlahir dari keluarga yang serba cukup, dari keluarga yang penuh
pendirian akan prinsipnya, dari keluarga yang mempertahankan dan menjaga
kehormatan.
Tujuan hidup seorang
anak memang menjadi hal yang utama bagi orang tua. Sebagai orang tua hendaknya
selalu mendukung keputusan anaknya jika keputusan itu adalah hal yang mulia
yang dipilih dan diyakini sang anak. Cita-cita yang ingin dicapai seorang anak
dengan proses yang tidak mudah hingga akhirnya sukses dan menjadi kebanggaan
keluarga dan dunia, meskipun sebelumnya keputusan untuk mencapai cita-cita itu
ditentang oleh orang tuanya.
BABAK
1: di kosan Taksu
KEKHAWATIRAN
AYAH DAN IBU KARENA MENDENGAR SELENTINGAN BAHWA ANAKNYA YANG BERNAMA TAKSU
BERCITA-CITA INGIN MENJADI SEORANG GURU. BAGI AYAH DAN IBU HAL INI ADALAH
SEBUAH MALAPETAKA, MENURUT MEREKA MENJADI SEORANG GURU MASA DEPANNYA SANGAT
SURAM DAN TIDAK AKAN MENJANJIKAN SEBUAH KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK DI MASA YANG
AKAN DATANG. KARENA KEKHAWATIRAN ITULAH AYAH DAN IBU MENEMUI TAKSU DISEBUAH KOSANNYA,
DAN BERTANYA AKAN KEKHAWATIRAN YANG MEREKA RASAKAN. DISEBUAH KOSAN YANG BERCAT
PUTIH, PINTU YANG BERWARNA CAT COKLAT LEMBUT, KURSI SUDUT YANG TERLIHAT MASIH
BARU, TEMPAT TIDUR YANG TERLIHAT MASIH EMPUK, DI SANA TERLIHAT TAKSU SEDANG
SIBUK MEMBACA SEBUAH BUKU DI KURSI SUDUTNYA, AYAH DUDUK DIKURSI SUDUT SAMBIL MEMPERHATIKAN
TAKSU, DAN IBU DUDUK DI KURSI SUDUT DI SAMPING TAKSU MENGELUS KEPALA TAKSU
DENGAN LEMBUT.
Bapak : Kami dengar selentingan, kamu mau menjadi guru,
Taksu?
Betul?!
(memandang ke luar jendela)
Taksu : Betul Pak! (menggangguk mantap, membuka halaman buku selanjutnya)
Ibu : (kaget
dan berhenti mengelus kepala Taksu)
Bapak : Gila, masa kamu mau jadi g-u-r-u?
Taksu : Iya Pak, saya mau menjadi seorang guru.
Bapak : Taksu! (berteriak
dan menatap tajam Taksu)
Taksu : Iya Pak, Bu. (tampak tenang tak bersalah)
Ibu : (menarik
naafas dalam-dalam karena kecewa, lalu keluar dari kostan Taksu)
Taksu : Bu, Ibu mau kemana?
Bapak :
Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya
bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan
cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era
milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa
sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi
guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru
asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan
loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri?
Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!
Taksu : Tapi saya mau jadi guru.
Bapak : Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain?
Taksu : Ada, tapi saya ingin menjadi guru pak.
Bapak : Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru
itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada
yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar.
Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam
gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani.
Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan
saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru?
Taksu : Iya, Guru. Tetap menjadi guru pak.
Bapak : Astaga, Taksu. Itu cita-cita sepele banget,
itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya
rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak
punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik
menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau
masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah
sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!
Taksu : Sudah saya pikir masak-masak (menutup buku)
Bapak : (terkejut dan berdiri dari
tempat duduknya)
Pikirkan sekali lagi! Bapak kasih
waktu kamu satu bulan untuk memikirkannya!
Taksu : (menggeleng)
Dikasih waktu satu tahun pun
hasilnya sama, Pak. Saya ingin menjadi guru.
Bapak : Tidak! Kamu pikirkan saja dulu satu bulan
lagi, Taksu. (melangkahkan kaki keluar
kostan, meninggalkan Taksu dengan hati panas)
BABAK 2 : di halaman kosan Taksu
BAPAK KELUAR DARI KOSAN TAKSU DAN
MELIHAT ISTRINYA SEDANG MENUNGGU DI DEPAN PINTU KOSAN TAKSU.
Ibu :
Tuh, Lihat! Anak kamu kelakuannya bikin saya naik darah.
Bapak : Bukannya dia anak Ibu juga?
Ibu :
Tapi kau Ayahnya.
Bapak : Iya, dan kau yang melahirkannya.
Ibu : Ah. Mendidik anak itu yang benar,
jangan seperti itu. Lihatlah atas didikan Bapak itu Taksu jadi cupet
pikirannya.
Bapak : (menyulut rokok)
Ibu : Kau terlalu memanjakan dia, makanya dia
seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!
Bapak : (diam, tetap menyulut rokok)
Ibu : Kenapa kau diam? Memang Bapak tidak
becus! (melangkahkan kaki pergi masuk ke
dalam mobil)
Bapak : (membuang rokok dan
menginjaknya)
Ah, istri saya memang aneh sekali.
Apa saja yang tidak disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya.
Ibu :
Cepat kemari, kita pulang! (berteriak)
Bapak : Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar
bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, waduh seperti kecambah yang
tidak pernah tumbuh. (mendengus, mengadap
kepada penonton seolah-olah mengajak berbicara penonton)
BABAK 3 : di kosan Taksu
DUA BULAN KEMUDIAN BAPAK DAN IBU
DATANG LAGI MENGUNJUNGI TAKSU DI TEMPAT KOSNYA. IBU MEMBAWA KRUPUK KULIT IKAN
KEGEMARAN TAKSU. BAPAK MEMBAWA SEBUAH LAPTOP BARU YANG PALING CANGGIH SEBAGAI
KEJUTAN UNTUK TAKSU. BAPAK DAN IBU MENGHARAPKAN AGAR TAKSU BAHAGIA, MESKI HATI
BAPAK DAN IBU SANGAT TERPUKUL AKAN PERNYATAAN YANG AKAN DIDENGAR DARI ANAK
SEMATA WAYANGNYA.
Ibu :
Assalamualaikum.. (mengetuk pintu)
Taksu : Waalaikumsalam.. (membuka
pintu)
Bapak, Ibu. Silahkan masuk, aku
sangat merindukan kalian. (mencium tangan
Bapak dan Ibu)
Mari duduk di sini!
Ibu :
Kami juga merindukan kamu, Nak. (tersenyum
lembut)
Taksu : Hari ini Ibu terlihat sangat cantik dengan
kerudung warna merah muda ini, Ibu memang surga terindah yang terlihat nyata di
jagad raya ini (memeluk Ibu)
Ibu :
Taksu, kau memang anak yang baik.
Taksu : Ibu pejuang
besar sejak hari pertama dalam hidup saya, Ibu penjaga
terhebat sejak hari pertama dalam hidup saya, Ibu pahlawan
tergagah sejak hari pertama dalam sejarah hidup saya, dan Ibu adalah guru bagi
hidup dan mati saya.
Ibu : Apa? Guru? (heran)
Taksu : Iya.
Ibu : Ah. (kesal)
Taksu, Lihat ini! Ibu membawakan
kerupuk kulit kegemaranmu. (menyodorkan
kerupuk kulit)
Taksu : Wah, sudah lama aku tak makan kerupuk
kulit. Terimakasih Bu! (tersenyum bahagia)
Bapak : Dan ini Taksu, Bapak belikan kamu laptop
baru yang paling canggih untukmu, anak semata wayang Bapak. Anak yang akan
menjadi penolong kami dikala kami tua nanti. (menyodorkan laptop)
Taksu : Terimakasih Pak, ini akan sangat bermanfaat
sekali bagiku. Akan aku gunakan sebaik-baiknya. (tersenyum bahagia)
Bapak : Ya, tapi jangan kau gunakan untuk mengejar cita-citamu sebagai
guru.
Taksu : (menggeleng)
Bapak : Jadi bagaimana? Kau ingin menjadi apa, Taksu?
Taksu : Sudah saya bilang saya ingin jadi guru, kok
ditanya lagi, Pak. (berbicara datar tanpa
rasa berdosa)
Ibu : Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena
kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?! (membentak)
Mentang-mentang mereka bilang, guru
pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa.
Taksu : Itu memang benar adanya, Bu.
Ibu : Ahh! Itu bohong! Itu bahasa pemerintah!
Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa
kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang?
Hah?
Taksu : (diam tidak menjawab,
menatap kosong langit-langit)
Ibu : Negara sengaja memuji-muji guru
setinggi langit tetapi lihat sendiri, Negara tidak pernah memberi gaji yang
setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena
dipuji.
Taksu : Ibu..
Ibu : Mereka tahu kelemahan orang-orang
seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi
tidak peduli dibayar.
Bapak : Ya, ya.
Ibu : Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu
dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu masih mau jadi guru.
Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba keluar negeri biar sekolah
setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja
kamu tidak nyahok?
Taksu : (tidak menjawab)
Ibu : Kamu kan bukan jenis orang yang suka
dipuji, kan kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah
sesuatu yang konkret. Nah, yang konkret itu adalah duit, Taksu.
Bapak : Ya, duit Taksu duit!
Ibu : Kamu jangan takut dituduh materialistis.
Siapa bilang materialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya
duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin
kamu bisa hidup tanpa duit? Yang benar saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu
pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk
sesuatu yang tidak berguna?
Taksu : (tetap diam)
Ibu :
Paham kamu, Taksu?
Taksu : (mengangguk)
Paham.
Tapi apa salahnya jadi guru?
Ibu :
(melotot)
Laptopnya bawa pulang saja dulu,
Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih
mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!
Bapak : Iya, dan
Ibu :
(buru-buru keluar kosan dan menarik
tangan Bapak)
Ibu :
Sudah waktunya membuat shock terapi pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu
dalam.
Bapak : Mungkin dia memerlukan perhatian kita, Bu.
Ibu :
Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang
menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal
bulus! Yang dia kepingin bukan laptop tapi mobil! Bapak harus kerja keras
beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasihat kita!
Bapak : (menggeleng, mengkerutkan
kening)
Tapi
Bu.
Ibu :
Ah, sudahlah mari kita pulang. Kepala saya rasanya mau meledak! (mengibaskan kipasnya)
BAPAK DAN IBU PUN PERGI KE RUMAH
MEREKA DAN MENINGGALKAN TAKSU SEORANG DIRI DI TEMPAT KOSNYA.
BABAK 5 : di kosan Taksu
TIGA BULAN KEMUDIAN TAKSU MELAMUN
SEORANG DIRI, TIBA-TIBA BAPAK DATANG MENEMUI TAKSU TANPA DIKETAHUI OLEH IBU.
BAPAK DATANG DENGAN MEMBAWA KUNCI MOBIL. BAPAK SENGAJA MENARIK DEPOSITONYA DI
BANK DAN MENGAMBIL KREDIT SEBUAH MOBIL.
Taksu : Lembayung
di senja yang terdengar hanya suara yang tak memiliki makna. Rintikan hujan
memberi alunan kegelisahan. Setiap tetesnya hitungan kegelisahan. Apa yang dinanti?
Hanya ada belenggu angan di hati. Aku pilu dengan sejuta impian. Impian yang
terbungkus dengan kabut. Ku tiup, ku lepaskan kabut itu, aku meronta dalam
kabut keabuan. (menatap kosong ruangan, kata-kata itu menggantung di
langit-langit)
Bapak : (membuka pintu)
Taksu?
Taksu : Bapak? (kaget)
Sejak kapan Bapak ada di sini?
Bapak : Bagaimana Taksu? Ini hadiah untuk kamu, dan
kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak. (menunjukan
kunci mobil)
Taksu : (melihat kunci mobil dengan dingin)
Hadiah apa, Pak? (mengambil
kunci mobil yang ditunjukan Bapak)
Bapak : (tersenyum getir)
Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu memutuskan. Jadi,
singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?
Taksu : (memandang tajam Bapak)
Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?
Bapak : (merebut kunci mobil yang dipegang Taksu)
Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru.
Taksu : Kenapa?
Bapak : Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga,
kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan menjadi guru, sebab itu memalukan
orang tua kamu. Membuat Bapak malu, membuat Ibu malu.
Taksu : Pak..
Bapak : Kamu ini investasi untuk masa depan kami,
Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan,
dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada
bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo
nanti.
Taksu : (diam)
Bapak : Bercita-citalah yang benar, setinggi langit.
Taklukanlah seluruh isi bumi ini. Biar kau menjadi payung dikala hujan, biar
kau menjadi bintang paling terang dikala malam, Taksu. Mbok mau jadi presiden
begitu! Masak guru! Gila!
Taksu : Sungguh, Pak. Menjadi guru pula akan lebih
dari itu. Aku akan menjadi seorang guru yang selalu hadir disetiap musim
berganti, akan selalu mengejar cahaya terang meski ke belahan dunia lain. Aku
akan membangun rumah disetiap telaga sebagai pengobat rasa haus umat manusia,
dan.. dan..
Bapak : Dan apa? Alaaaaaaah, payah! Menjadi guru,
paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu
dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran!
Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu! Ini, ambil! (memberikan kunci mobil dan meletakkan kunci
mobil di depan hidung Taksu)
Taksu : (berpikir, memungut kunci mobil)
Bapak : (tersenyum bahagia, merasa menang)
Taksu : Terima kasih, Pak. Bapak sudah
memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian
Bapak. Saya ingin jadi guru. Maaf. (menarik
tangan Bapak dan menaruhkan kunci mobil di atas telapak tangan Bapak)
Bapak : (mengepalkan telapak tangan menahan emosi yang tak tertahankan)
Baiklah. (memasukkan kunci
mobil ke kantung celana)
Taksu : (menundukkan kepala)
Bapak : Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan
uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya
kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak
semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu
akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang.
Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah
sempat hancur dan pelangi pasti akan datang setelah redanya hujan. Tapi tak apa.
BAPAK PUN BERGEGAS PERGI DENGAN EMOSI YANG MENGGEBU-GEBU DAN PIKIRANNYA DIPENUHI DENGAN BERJUTA PERTANYAAN
JUGA TUDUHAN KEPADA MINA PACAR TAKSU. MENUDUH MINA YANG TELAH MEMBUAT TAKSU
INGIN MENJADI GURU.
BABAK 6 : di kosan Taksu
TIGA BULAN KEMUDIAN BAPAK DATANG LAGI MENEMUI TAKSU DENGAN MEMBAWA
KUNCI MOBIL MEWAH. TAKSU TIDAK LAGI MELAMUN, TAKSU SEDANG BERBARING DI TEMPAT
TIDURNYA.
Bapak : Taksu? (berteriak)
Taksu : Bapak? Ada..
Bapak : Coba jawab untuk yang
terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?
Taksu : Mau jadi guru.
Bapak : (memukul
ke atas meja dengan emosi yang tak tertahankan, gelas di atas meja meloncat,
kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka Bapak)
Tetapi kenapa? kenapa? apa informasi kami tidak cukup buat membuka
mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu?
kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!
Taksu : Karena saya ingin
jadi guru.
Bapak : Tidak!
Kamu tidak boleh jadi guru! (membentak)
Taksu :
Saya mau jadi guru. Dimana letak
kesalahan itu sehingga sulit mendapat restumu, Pak?
Kau tapsirkan cita-cita saya menjadi guru ke arah yang keliru. Saya
hanyalah perahu nelayan, sangat sulit untuk mengatur arah meyakinkan Bapak. Saya
berusaha menurunkan jangkar perahu agar saya bisa bertahan dari kerasnya
samudra. Keputusan saya menjadi guru sudah menancap di dasar laut. Saya tidak
bisa merubah keputusan ini. Saya mohon jadilah samudra yang tenang. Jika memang
takkan kau beri itu, tolong biarkan saya untuk menikmati harapan menjadi guru ini
sampai habis waktunya.
Bapak :
Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru (mengepalkan tangan siap meninju Taksu)
Taksu : Apa? (menatap
tajam Bapak)
Bapak :
Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!! (teriak kalap)
Taksu : Bapak tidak akan bisa membunuh saya (menatap tajam)
Bapak : Tidak? Kenapa tidak?
Taksu :
Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap.
Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang
dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa
mati, Pak.
Bapak : (tercengang)
O…
jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?
Taksu :
Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati. (tegas menjawab)
Bapak
: (bengong,
gugup)
Bangsat!
Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa
yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?
Taksu : (memandang
tajam Bapak)
Bapak : Siapa Taksu?
Taksu : (menunjuk)
Bapak
sendiri, kan?
Bapak : (terkejut)
Itu
kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain, Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu
tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu!
Taksu : Lalu?
Bapak :
Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu
bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik
ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi,
tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu
yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus
menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa
melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini.
Tahu?
Taksu : Maka dari itu.
Bapak : Apa?
Taksu :
Saya bisa seperti ini karena guru, bukan? Maka dari itu saya ingin membuat
semua orang menjadi seperti saya.
Bapak :
Apa maksudmu? Kau telah dicekoki oleh si
Mina pacarmu yang mentang-mentang cantik itu? Iya? Mau menyeret kamu ke masa
depan yang gelap? Hah? Jawab! (membentak)
Taksu : Cinta itu buta, Pak.
Bapak : Tidak betul cinta itu buta! (membentak kalap)
Kalau
cinta bener buta apa gunanya ada bikini.
Taksu : Apa maksud Bapak?
Bapak :
Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah
terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus
mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat apa?
Taksu : Buat..
Bapak :
Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu menjadi
guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara bangga menjadi
guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai
dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan
dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk
bisa hidup lebih beradab.
Taksu : Dengan menyembahnya?!
Bapak :
Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah
materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih
manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai
guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu
Taksu, sekarang juga! Ini! (menggebrakkan
kunci mobil BMW di depan matanya dengan sangat marah)
Taksu : (tercengang)
Bapak :
Ini satu milyar tahu?! (mengambil kunci
mobil kembali dan bergegas hendak pergi)
Pulang
sekarang dan minta maaf kepada Ibu kamu,
sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu
sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina
dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!
TANPA
MENUNGGU JAWABAN DARI TAKSU, BAPAK BERGEGAS PULANG
BABAK
7 : di rumah Bapak dan Ibu
IBU
SEDANG DUDUK DIKURSI GOYANG SAMBIL MENYEDUH TEH MANIS DAN MEMAKAN KERUPUK
KULIT. TIBA-TIBA DATANGLAH BAPAK DENGAN TERGESA-GESA DAN EMOSI YANG
MENGGEBU-GEBU.
Ibu : (menyeduh
teh)
Bapak :
Bu, Taksu keterlaluan. Saya sudah kalah terhadapnya, dia tidak menghargai kita
sebagai orang tuanya.
Ibu : Maksud Bapak? (memakan kerupuk kulit)
Bapak :
Tadi saya datang menemui Taksu. Saya datang dengan membawa kunci mobil BMW,
mobil mewah untuk anak semata wayang kita.
Ibu : Lantas?
Bapak :
Saya mengatakan padanya bahwa mobil mewah itu bisa dia miliki sekarang juga
asalkan dia tidak menjadi guru. Namun apa yang terjadi? Dia malah tetap
memberikan jawaban yang sama, dia tetap ingin menjadi guru sebagai
cita-citanya. Hah! Tentu saja secara spontan Taksu saya marahi, hampir saja
saya akan membunuhnya karena perangainya yang tidak mendengar nasihat orang
tua.
Ibu : (bengong)
Bapak :
Dan saya pun mengambil kembali kunci mobil itu dengan segera karena dia tetap
dengan pendiriannya itu. Saya mengatakan padanya bahwa mobil mewah itu tidak
pantas digunakan oleh seorang guru. Saya hebat kan, Bu?
Ibu :
Apa? Hebat? Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu! (teriak kalap)
Bapak : (bingung)
Ibu :
Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak
mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak
dagang. Dasar mata duitan!
Bapak : (mengkerutkan kening, tak tahu harus berkata
apa)
Ibu : Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!
Bapak : Kabur? Tapi (berusaha membantah)
Ibu : Iya Kabur, cepat temui dia! (cemas)
Bapak :
Taksu anak kita satu-satunya kabur? Tidak! Sebelas tahun kita menunggunya
dengan cemas. Kita berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan
enseminasi buatan, dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal.
Taksu tidak boleh kabur! (cemas)
Ibu : Ketika kita menyerah, akhirnya saya
mengandung dan lahirlah Taksu.
Bapak :
Taksu anak yang sangat mahal, Bu. Saya tidak akan membiarkannya kabur! (bergegas pergi)
Ibu : Ayok cepat temui anak mahal itu, Pak! (teriak kalap)
BAPAK
PUN BERGEGAS PERGI MENUJU KOSAN TAKSU DENGAN PANIK. IBU MENUNGGU DENGAN CEMAS
DI RUMAHNYA.
BABAK
8 : di kosan Taksu
BAPAK
MENEMUI TAKSU DENGAN PANIK TAPI SUDAH TERLAMBAT, RUMAH KOS ITU SUDAH KOSONG.
TAKSU PERGI MEMBAWA SEMUA BARANG-BARANGNYA, YANG TERTINGGAL HANYA SECARIK
KERTAS KECIL DAN PESAN KECIL. DAN TERJADILAH PERTENGKARAN KERAS ANTARA BAPAK
DAN IBU DI KAMAR KOSAN BEKAS ANAKNYA ITU.
Bapak :
Taksu? Taksu? Kau ada di dalam kan, Taksu? Nak, kau dimana? (mengehela nafas terkejut melihat ruangan
kosong)
Kami
tidak mau kehilangan kamu, Taksu!
Apa
ini? (melihat secarik kertas dan
membacanya)
“Maaf,
tolong relakan saya menjadi guru.” (tangan
Bapak gemetar memegang secarik kertas dari buku harian itu)
Kertas
ini nilainya mungkin hanya seperak, tapi kertas ini jauh lebih berarti dari
mobil BMW yang harganya semilyar yang Bapak hadiahkan untukmu, Taksu! (menangis, mengusap wajah kusutnya)
SUASANA
HENING SEJENAK BERSAMA TANGISAN BAPAK. BAPAK DUDUK DI DALAM KAMAR ITU, MENCIUM
BAU TAKSU YANG MASIH TERTINGGAL. PIKIRAN BAPAK KACAU.
Bapak :
Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? (menangis terisak)
Semua
gara-gara si Mina itu yang telah meracuni anak semata wayang saya, anak mahal
saya, anak yang akan menjadi bahu tempat kami bersandar kala jompo nanti. Semua
gara-gara si Mina, perempuan licik yang telah memberikan iming-iming indah
tentang definisi guru terhadap Taksu! Padahal menjadi guru itu adalah pelarian,
kenyataannya banyak guru yang brengsek! (menangis
terisak dengan emosi yang menggebu-gebu)
Ibu : (membuka
pintu)
Bapak : Taksu? Itukah kau, Nak?
Ibu : (menatap
ruangan)
Taksuuuuuuu!
Bapak : (tidak
menoleh)
Ibu :
Saya merasakan firasat yang buruk, saya cemas. Maka saya menyusul ke sini. (menatap kosong)
Bapak : (diam)
Ibu :
Apa yang terjadi? Mana Taksu? Kemana anak semata wayangku? Kemana anak mahal
itu, kemana? (menangis)
Bapak : (menggeleng)
Ibu : Mengapa kau diam saja? Jawab! Dimana
Taksu?! (berteriak)
Bapak : Kalau saya tahu dia dimana, saya tak mungkin
diam disini.
Ibu :
Kau, kau seorang Bapak, seorang suami yang tidak becus! Gara-gara kau anak
mahalku kabur. Semua gara-gara kau!
Bapak :
Bukankah kau Ibunya? Kau yang seharusnya mendidik dia dengan baik, bukankah kau
yang melahirkannya? Saya sudah berusaha sebaik mungkin menjadi seorang Bapak
baginya, saya ingin memberikan yang terbaik baginya. Maka dari itu saya
melarang dia untuk menjadi guru. (berontak)
Ibu : Tapi kau mendidiknya dengan cara yang
salah.
Bapak : Memangnya kau sudah benar mendidiknya? Hah?
Ibu : Kau..
Bapak : Apa lagi? Apa yang akan kau tuduhkan lagi
terhadapku? (berteriak)
Ibu : (terkejut)
Bapak :
Kau tak pernah melihatku meneteskan air mata dan aku tak pernah melakukannya.
Namun tahukah kau, istriku? Menangis tanpa air mata itu jauh amat menyakitkan.
Saya lelah selalu kau tuduh, selalu kau salahkan dalam setiap hal yang membuat
kau kesal.
Ibu : (menangis)
Bapak :
Ketika gemuruh hati mulai membengkak di ruang-ruang langit asa hati
terasa menyesakkan begitu pahit. Kalau pun menatap langit, walaupun berulang
kali menyeka luka pahit. Tetap terlihat di pelupuk mata, begitu sakit. (menutup wajah)
Ibu : Apa maksudmu? Aku yang lebih tersakiti
disini. Gara-gara kau, anakku kabur meninggalkanku yang sebentar lagi beranjak
tua! Siapa yang akan menemaniku kelak kalau bukan dia? Kau? Kau tidak bisa
diandalkan!
Bapak :
Diam kau! Semuanya terasa menyesakkan,
memilukan. Yang bagimu ini sukamu, yang bosannnya tetap dengan cara dan
peristiwa yag sama kau buat itu untukku. Selalu menyalahkan dan membuatku
seperti tak berarti.
Ibu : Saya tidak peduli kau sesakit apa. Bagiku
saat ini yang terpenting Taksu! Cari Taksu sekarang juga! Cari dia! Cepat lekas
pergi, temukan dia kembali.
Bapak : (menggebrakkan pintu, bergegas pergi dan meninggalkan Ibu sendiri)
Ibu : Pergi! Temukan Taksu, aku teramat
menyayanginya meski dia tetap pada pendiriannya. (menangis dengan emosi yang tak tertahankan)
BAPAK PUN BERGEGAS PERGI MENCARI TAKSU, SEDANGKAN IBU MENANGIS
SEORANG DIRI MENCIUM SISA BAU TAKSU YANG TERTINGGAL.
BABAK 9: di rumah Bapak dan Ibu
SEPULUH
TAHUN KEMUDIAN BERLALU BEGITU CEPAT. BAPAK SEDANG DUDUK DIKURSI GOYANG
MEMANDANG FOTO TAKSU YANG SEDANG MEMBAWA KERUPUK KULIT DENGAN RAMBUTNYA YANG
MULAI MEMUTIH. SEDANGKAN IBU SEDANG ASIK MEMAKAN KERUPUK KULIT.
Bapak :
Bu, lihat ini! Anak mahal ini, anak yang telah membuat kita bertengkar hebat,
Anak yang menyebalkan. (tersenyum)
Ibu :
Iya, Pak. Tapi kini anak mahal ini sudah menjadi kebanggan kita, kebanggan
dunia. (mengambil foto dari tangan Bapak)
Bapak :
Sekarang kita sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga
semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu, anak kita sudah menggantikan hidup
saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang
mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan
segar ke berbagai wilayah mancanegara. (tersenyum
bangga)
Ibu :
Iya, Pak. Dan saya sangat bangga dan bahagia sekali ketika Taksu mendapatkan
gelar doktor honoris causa dari sebuah perguruan tinggi bergengsi itu, Pak.
Seorang promotor mengatakan bahwa, Taksu adalah seorang guru bagi sekitar
10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik
generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan
etos kerja. (bibirnya melukiskan senyuman
yang indah)
Semua
orang bersorak-sorai menyambutnya. (memeluk
foto Taksu)
Bapak :
Ya. Dan Taksu melambaikan tangan kepada kita, semua orang pun melihat kita dan
mengatakan bahwa kita orang tua hebat yang telah mendidik Taksu menjadi seseorang
yang patut dibanggakan. (menyentuh bahu
Ibu)
Ibu :
Iya, Pak. Dan saat itu seluruh dunia iri terhadap kita. Taksu membuktikan
kepada kita, Pak. Dengan pendiriannya untuk mengejar cita-cita menjadi guru itu
memang sebuah cita-cita yang membanggakan. Investasi untuk di dunia juga di
akhirat.
Bapak :
Memang benar, tidak ada usaha yang sia-sia. Tidak ada pekerjaan yang membuat
kita miskin. Semakin keras kita berusaha maka semakin banyak hasilnya dikala
panen. Ternyata kita salah dalam menafsirkan guru.
Ibu :
Memang, Pak. Ternyata guru itu adalah rajanya dari segala profesi dan
cita-cita. Dan Taksu, anak kita telah memutuskan untuk mengejar cita-citanya
sebagai raja profesi, sebagai guru yang akan menjadi penerang dunia dikala
gelap maupun terang. Saya sangat bangga terhadapnya, Pak. (memeluk Bapak)
BAPAK DAN IBU LARUT DALAM KEBAHAGIAAN ATAS KESUKSESAN TAKSU MENJADI
GURU. LANGIT PUN KINI KIAN MENGURUNG PERGI DARI SELIMUT BIRUNYA. IA MULAI
TERTUTUPI AWAN JINGGA TERGANTIKAN SENJA. IA TERLIHAT MENGGEMPAL. MEMBENTUK
UKIRAN NAMA TAKSU SEORANG GURU YANG HEBAT. BAPAK DAN IBU BERPELUKAN DENGAN
HANGATNYA, MENYADARI BAHWA SEBAGAI ORANG TUA TIDAK BOLEH MEMAKSAKAN KEHENDAK
KEPADA ANAKNYA. JANGAN MENILAI SESUATU DENGAN MATERI (UANG) TETAPI NILAILAH
DENGAN KESABARAN, USAHA, DAN NIAT YANG TULUS. SEPERTI KETULUSAN GURU DALAM
MEMBERIKAN ILMU, ILMU YANG AKAN TETAP ABADI BAHKAN BERKEMBANG DAN MEMBERI
INSPIRASI BAGI GENERASI YANG AKAN MEMBAWA KEHIDUPAN DAN BANGSA MENUJU
KESUKSESAN SEKALIPUN JASADNYA TELAH DITIMBUN TANAH.
No comments:
Post a Comment