KUMPULAN PUISI REFORMASI (Part III)
Tasbih yang Diasah Sepanjang Pematang
Karya: Edu Badrus
Kemarilah, cucuku.
Dekap gigil tubuhku dayung anganmu di
pahatan kerut kulitkuselagi tak ada mimpi buruk dalam tidurmu semalaman kemudian
terbanglah, menelusup lanit senyap menangkup matahari di getaran urat nadi
Kemarilah cucuku, semasih jaru dapat
mengulur senyum pada congkatan pelangi yang terbe;ai di keningmu sehinggga
mekar bung-bunga dapat kucumbu di halaman matamu
Kemarilah, cucuku.
Kita tempuh lampaian ilalangseperti
tasbih yang di asah sepanjang pematang bergelombang«.
Tahun : 2005
Sumber : Horison Edisi III
Senandung Penantian
Karya: Ahmad Al Matin EM
Sungai kataku kering
Ketika huruf-huruf runcing
Membelah tubuh jagungku
Yang dipupuk waktu
Entah kenapa
Tiba-tiba musim dingin berdiri di
sampingku
Menggigilkan tubuh
Saat beribu titik
Masuk ke mata
Aku masih di sini
Menanti datangnya risalah
Untuk menyelam dalam tubuh
Laut warna tanpak putih
Dan kudendangkan
Gemercik air tanpa angina
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi IV
[Kakilangit 124 (2007:22)]
Bulan
Karya: Sofyan Athobari
langit-langit malam
yang lengang
tak bosan dihinggapi hiasan
bulan yang riang kini tak lagi
cemerlang: suram
berlindungkan awan
malu memandang wajah sunyiku
yang senantiasa
menunggu
bulan,
maukah kau datang?
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:22)]
Konyol
Karya: Ni’matul Magfiroh
Oh… pacarku yang konyol
Mengapa kaubuat aku jadi dongkol
Kusuruh kau makan itu cendol
Mengapa kau makan itu tongkol
Oh… pacarku yang konyol
Mengapa dan mengapa kau buat aku jadi
tolol
Kusuruh kau beli cendol
Mengapa kau panggil aku tukang kol
Kusuruh kau makan dodol
Mengpa kau makan itu jengkol
Oh… pacarku yang konyol
Mengapa kau buat aku jadi tolol
Tapi…
Mengapa aku masih saja kecantol
Dan ikut jadi konyol
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:14)]
Renungan Bawah Sadar
Karya: Julian Purnawati D.
Tersungkur aku
Dalam bawah sadarku
Terdiam
Tercengang
Dalam kebisuan batin
Merayapi tiang-tiang ruang gelisahku
Merambati dinding-dinding kesunyian
hatiku
Yang hampir roboh
Tersapu banjir indera cahayaku
Di bawah sadarku
Apakah itu benar ada?
Apakah itu nyata?
Ataukah hanya maya….
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi IV
[Kakilangit 124 (2007:14)]
Menuju Muasal Rindu
Karya: Hasan Al Banna
melintasi riak yang lasak
sambil menghafal derak angin yang
tersedak
maka berkayuhlah aku
ke dermaga-Mu
entah bila tiba
sebab di laut-Mu, siapa yang berani
menerka-nerka
rahasia cuaca?
pun gurat-gurat di tapak tangan
tak lah abjad-abjad penggugur bala
tak pula peta penakluk perjalanan
lalu bakal puntung dayung, nak karam
sampan
jika tidak dengan ketangguhan iman
layar dibentang
dan di pucuk dermaga-Mu
simpul sampanku tak kunjung tertambat
pula iya, sebab pada waktu
yang terus bergasing
berkali-kali lampu suar mengerling, tak
ubah alarm
yang berdering
menggambarkan sampan yang gelincir
tapi khianatku berjelaga, tak punah
kujala-jala dosa
tak penat kutangguk-tangguk angkara
sehingga ombak-Mu menyedot kendaraku
ke palung karma
o, dalam geletar kurapal-rapal doa
kuracik-racik taubat
di sisa ajal
kurakit-rakit pecah sampan
kuikat-ikat patah dayung
hingga aku paham, ini sampan tidak hanya
diketam
dari doa-doa malam
musti ada pekik luka, ada gelegak peluh
dan kuak mata yang merubuhkan tangis
ialah menghanyutkanku ke muasal rindu,
o, Kau yang
tak layu-layu.
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
(2007:8)
Tasbih
Karya: Hasan Al Banna
“Allah yang putih, Allah yang putih!”
kupetik-petik ranum tasbih
gelas hati melimpah, bersirap-sirap buih
bersimbah puji-puja yang gurih
“Kekasih yang jernih, Kekasih yang
jernih!”
ini menggelepar tubuh tasbih
o, imanku yang dangkal ayo mendidih
serupa Ismail tak getar disembelih
“ai, Allah yang permai, ai, aku yang
lunglai!”
maka tasbih terus terjuntai-juntai
mengayun gemulai
hai, segala cinta-Nya nak digapai-gapai
“Engkaulah maha lihai, dan aku mataair
lalai!”
lagi, biji tasbih kusemai-semai
tak lah digadai
sampai lengan maut melambai-lambai
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
(2007:9)
Reranting Patah Rebah ke Tanah
Karya: Husein AR
Di pucuk nafasmu, kudengar reranting
patah
rebah ke tanah
langit menangis darah, sepotong kenang
mengapung pada lautan bertabuh gelombang
Kupetik embun perdamaian
untuk kekalutan negeri di tengah hujan
bencana
sebab manusia tak mesti disakiti
juga dibenci, karena kudamba sempurnaNya
tak berguna bila musuhi makhlukNya
Matahari berapi, menyulut nyalang,
berang
namun zikir redupkan nafsu
dan denyar azan surau mengamini parau
suara hatiku
walau desir amarah menganga
tak surut hajatku untuk diam
pandangi hening malam seperti rembulan
datang
tersenyum terang
Aku tak pernah tahu pintu rumahmu
yang membuka celah kebisingan molotov
tunjukkan padaku pohonan menjulang
dengan daunan mekar nan hijau
hingga kumengerti tiadamu di medan
perang
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:21)]
Narasi di Bawah Hujan
Karya: Kiki Syukri Musthafa
Layar komputer masih menyala. Tanpa satu
kata
yang biasanya bercerita banyak tentang
hari yang tak selesai
mengukir senyum. Kubuka halaman
berikutnya
dari sebuah buku, penyimpan kalimat
tentangku
mekukis tawamu juga betapa ibanya aku mengemasi
mimpi
yang terenggut oleh kepergiaanmu:
“lupakan aku untuk kau kenang.…”
Masih seperti adanya. Ini diriku
bertelanjang harapan
saat bajuku kau tanggalkan. Berseteru
dengan pagi
yang selalu saja membuatku terbangun.
Tapi subuh
kemarin aku mendoakanmu
Kutekan not pada keyboard :
Hujan baru saja turun
Di bawahnya kutambahkan kata-kata:
Kini hujan deras
Kulengkapi:
Angin mengamuk
Lebih detail lagi:
Petir bergema
Aku tersenyum sendiri memalingkan
ketakmungkinan
agar aku tak tersakiti. Menatap musim
yang menyajikan hujan
di balik jendela. Sementara aku masih
bertanya:
“kenapa harus barang obralalan sepertimu
yang membuat hatiku terbeli?”
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:19)
Dongeng untuk Poppy
Karya: M. Fadjroel Rachman
sungguh aku melihatmu tertawa-tawa
dengan aborigin tua ½ mabuk di pelabuhan sydney
berlompatan di lengkung gedung opera,
meniti pucuk gelombang dan hilang ditelan
ombak
sungguh aku melihatmu menepuk-nepuk bahu
indian tua dan menuntunnya di zero ground
saat itu tengah malam musim panas, aku
terjaga, bulan seperempat menyetubuhi new york
: tengah malam kanguru dan bison
berlarian ke ranjang apak lelaki aborigin + indian tua
surat-surat beterbangan diamuk angin
yang memaki-maki tamansepi di new york + sydney
ada sajak muram meluruhkan huruf-huruf
ke rumput taman, melepas beban airmata malam
sepasang kursi kosong kedinginan,
meratapi hangat tertinggal di kamar pengap tanah air
tak ada lagi hujan daun coklat angsana
& jerit kesepian burung kowak di ransel punggung
: tengah malam kanguru dan bison
berlarian ke ranjang apak wanita aborigin + indian tua
sungguh aku melihatmu di sebuah taman
tertatih-tatih menenteng lambung luka new york
bibirmu bernanah menjilati kristal garam
di pori-pori udara new york yang lembab & amis
sungguh aku melihatmu duduk di sebuah
taman menerka rindu ombak pelabuhan sydney
kapal-kapal berlarian ketakutan dipatuki
camar, layarnya melambai-lambai memanggilimu
: tengah malam kanguru dan bison
berlarian ke ranjang apak anak-anak aborigin + indian
kaleng bir kosong menggunung di kakimu,
lampu taman menyanyikan spain kesukaanmu
taman-taman mencium alis hitam, melukis
derap kaki-kaki embun sunyi menara katedral
udara sangsi bertukar keluh, asin garam
pelabuhan sydney menetes embun di riuh new york
hujan berzirah cahaya mengetuki pintu
samudra kristal kaca menyeret bangkai airmatamu
: sungguh aku melihatmu di taman-taman
new york + sydney menerka kabar musim gugur
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi IV
(2007:14)
Pohon Abadi
Karya: Miftahul Jannah
Sungai waktu mengalir
ke muara nasib
dan aku berkelana
di tajam tebing dan bebatuan
di laut
ketika gelombang pasang
bergulung bersamanya
Ketika tubuh terkoyak
tertusuk serpihan gunung es
pedih luka
jiwa yang hampa
Di pulau terpencil
tumbuh pohon pelipur lara
daun-daunnya hijau
batangnya kokoh
menyentuh lazuardi
Dengan segenap lara
kurangkai kembali langkah
menuju puncak
Ingin kugapai buah dipohon abadi
kuhirup wanginya
dan kukecap nikmatnya
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi IV
[Kakilangit 124 (2007:19)]
Interior Angin
Karya: Syafrana G. Khalili
Telah kutaruh deru angin di sudut
reruang semua musim
Dan gugur daun. Tapi masih topan itu
yang menderu
di matamu. Aku terjebak seruang puncakmu
Semua dalam ribuan tahun perjalanan
memeluk angin
Dan jejak pecah dalam gelisah nafas
panjang dan lepas
Seperti tak sebentang rindumu, saat
detak jam waktu
Mendebarkan gandrung menjadi sebentuk
sungai
Agar hanya jiwa yang terbelah desiran
darah menetes melukai tubuhmu
Kau pun akan mewiridkan dendam di bawah
bendera
yang terluka dari lubukku
Sambil mengunyah sisa tangis di tepi
jalanan
Lalu dengan selam darahku yang tergolek
menatap awan
Kau tak bisa mengena jangkauku separuh
seluas laut
Dan menarik cairan kata sebening hampa
dari bibirmu
Lalu memerasnya ke lelubang maut
Dan dari semua pengembaraanku ini
Aku hanya ingin temukan semenanjung
cinta di samuderamu
Tempatku mengaduk gunung-gunung dan
membakarnya
Atas belahan doa dan hidupku
Maka biarkanlah kini hanya tinggal sampah
mengarat
Dalam semak abjad dari retak ratusan
tahun sejarah
Dan
riuh suara jalanan
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:26)]
Filosofi Sendiri
Karya: Taufik Agus Purnomo
Bulan mengambang dan angin menerbangkan
api pada telapak
tanganku. Aku galau. Ada serbuk
bratawali yang harus aku maniskan,
dan ada batas kesadaran yang harus aku
pahami.
Aku bukan marsuse yang bebas manjaring
kunang-kunang di tepi danau,
Aku adalah pengantin yang gagal
menyuapkan nasi kuning. Selalu lebur
pada genggamanku.
Bulan makin terang dan batas kesadaranku
menghilang
Jika betul pengantin ini adalah borok
yang menyala dan berkobar
dalam jarak napas, maka padamkanlah
Salju meninggi dan aku menuruni jurang
gelap dan dalam. Salju hitam
Berkeputusan membakar lidah adalah acuh
yang aku tak acuhkan. Bulan pun
acuh karena tahu borokku. Di sini, di
setiap ruang sorga.
Hanya menjadi malam aku bisa
bercahayaaya menutup gurat-gurat senja
dengan belepasannya keheningan. Aku
menuju pintu kesadaran
Apakah cinta, arti bulan pada lilin yang
membara di balik jerit itu?
Pengeran kuda putih tersenyum sinis
ketika aku menilin borokku. Bulan menangis
Amarah seorang marsuse bisa membelah
bayangan bulan di danau. Dan pangeran
kuda putih menyodorkan pedang kepada peri
bersayap emas. Aku ragu pada emas
Dan karat yang melekat menentukan silau
pedang itu, menudingku,
dan memutus urat-urat angin
Melebur kalbu pada gapura pintu
kesadaran. Menanam empedu agar menjadi
bunga kemboja di balik rembulan dan lilin membara
Bulan berlepasan cahayanya, salju hitam
menusuk telapak kakiku, lilin semakin
membara, seorang marsuse bertarung
dengan kekalahan seorang pengantin,
bulan terbelah, kemboja berbunga dan
pintu kesadaran terbuka.
Peri bersayap emas, tertawa,
tersedu-sedu.
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:25)]
Ibu
Karya: Adika Wirawan
Tak ada penyesalan
Terbaca di kedua mata
Dialah ibu
Dari anak yang tumbuh tanpa kaki
Hati ibu adalah padang rumput luas
Tanpa pagar pembatas
Ketika melihat raut wajah anaknya
Ibu senantiasa memeluk
Matanya berkaca-kaca
Airmatanya bersaksi
Turun ke bumi
Dan rambutnya yang belang
Pertanda adanya kehidupan
Cinta ibu adalah padang bunga
Mengharumkan wangi sorga
Angin dingin mendesah
Jamur pucat kedinginan
Lumut pada batu gemetaran
Wangi cinta ibu
Mengharumkan angin
Kemudian jadi kenangan
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:20)]
Rindu
Karya: Yeni Suryani
Dalam raguku tersimpan senyummu
Di setiap mimpiku terlukis wajahmu
Resah gelisah menyembunyikan laraku
Terselubung oleh kabut hitam
Rindu pun berlabuh di sanubari
Mengarungi samudera cintaku
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi IV [Kakilangit 124 (2007:13)
Tentang Sebuah Keberuntungan
Karya: Damiri Mahmud
tentang sebuah negeri
dibangun di atas
tanah subur unfortenately
sibuk memanggil-manggil raksasa
memamah rerumputan
seluruh permukaan
menyelam ke dalam kolam
danau dan lautan
mengunyah perut bumi
dan menyemburkan
aroma dan haruman
yang kita hirup
dalam setiap mimpi
kenangan yang melambai
di atas dermaga dan pelabuhan
tentang seutas rerumputan
yang berdoa penuh harap
sebelum digarap
dan dilalap
dikemas dalam sinetron
kembali ke angan-angan
tentang seonggok ironi
kita bangun
di atas universitas
dan akademi
menyusunnya ke dalam mitologi
tak habis-habis
kita kagumi
setiap menghirup segelas teh
dan semangkok nasi
tentang apa lagi
supaya aku lengkap mengenangmu
sebelum mati?
Tahun: 2006/1 Ramadhan 1427
Sumber: Majalah Horison Edisi IV (2007:6)
Dalam Dongeng
Karya: Damiri Mahmud
dalam dongeng putra pandu dapat wasiat
mewarisi hastina
mereka ditipu
begitu verbal
sehingga terlempar ke hutan lebat
tapi di sana mereka mambangun
kerajaan baru
anggun
dicintai rakyat
dalam sejarah hanya selembar salinan surat
sebuah takhta terbakar
sang penyambung lidah rakyat
terlempar
ke lorong bisu
hanya berteman burung-burung mayat
penuh digresi dan ambigu
pena sejarah tamat
dirubung para kelkatu
dalam piring nasiku
ikut makan para kurawa
antara astina dan jakarta
tak jauh beda
samar dalam penglihatanku
kalla dan pandita durna
kucari-cari ken arok
ternyata dikenal seluruh pelosok
menjelma dalam tubuh yang superelok
berbaris dari surabaya hingga ke rengas dengklok
Tahun: 2006/2 Ramadhan 1427
Sumber: Majalah Horison Edisi IV (2007:7)
Ingin Kuhirup Suasana Ini
Karya: Damiri Mahmud
ingin kutangkap suasana ini
kukurung kuikat
kubawa ke mana pergi
sebelum ia lenyap
dan tenggelam
entah ke mana ke sawang
ke laut tak bertepi
ingin kusantap suasana ini
sekali datang ke atas meja makan
menyababkan aku lupa
butir-butir nasi
tanpa sekucil ikan
lupa pada lapar dan ngilu hati
ingin kuhirup suasana ini
sekali ngalir
dalam kerongkong
basahi dahaga ini
ketika gelas kosong
hengkang ia
tak pernah mau sodorkan
pun helai kuitansi
ingin kusiramkan ia
kumandikan
kutuang ke seluruh
membasuh peluh
penuh koreng
dan kumuh
kulumat kupuji
kumaki-maki
kutimang dengan kasih sayang
sebelum menghilang
saat aku mulai cinta
kehidupan ini
Tahun: 2006/7 Ramadhan 1427
Sumber: Majalah Horison Edisi IV (2007:8)
Suasanaku, Beritahu Aku
Karya: Damiri Mahmud
suasanaku
di manakah engkau kini
telah kurambah seluruh jarak
seluruh negeri seluruh tapak kaki
kuintip-intip semua bunyi
musik rock klasik dangdut hindustani
alunan air di sungai deburan ombak di pantai
gelombang topan dan badai
www.puntingtsunami.co.id dan keresek_melesek@teler.com telah
kusasai
kuresek segala kocek senar biola kugesek segala situs telah
kukorek
menapak pada jalan becek ke rumah sakit aku besuk
dari pasien yang mengerang hingga ke bau busuk
engkau datang tak tepat waktu tak tahu ruang
tak kenal pantang tak butuh disiplin
sedang muak ataukah ingin
baik panas pun musim dingin
saat aku lupa dan menguap
tidur
tiba-tiba engkau menyergap
mengulur
sepuntung lilin
datang
menghilang
pulang
ke mana
tak kenal aku rupamu
pendek ataukah panjang
kuruskah atau gedang
mewah atau gelandang
baumu auramu identitasmu
warganegaramu aromamu
apamu siapamu bagaimanamu mengapamu
mengapa aku?
suasanaku
bisakah kita lagi bertemu
beritahu aku
di ranjang mana
kita bersetubuh
pada siang hari
ataukah menjelang subuh
bagaimana cara mati
hanggar mana aku berlabuh
Tahun: 2006/7 Ramadhan 1427
Sumber: Majalah Horison Edisi IV (2007:9)
Bau Apakah Ini
Karya: Damiri Mahmud
bau apakah ini
kuendus pelan dalam kesenjaan waktu
ketemaraman ruang galau bayang
tak sempat berbenah
berpilih-pilih
pada nasib dan pasrah
bau kantil semerbak di laman kastil
ataukah bau derit ban mobil baru meluncur
dari sebuah showroom meski pakai cicil-mencicil
bau apakah ini
meski kupinjam sejuta hidung
tak habis-habis tetap semerbak
kutransfer seribu flu burung dalam napasku
tak pilis-pilis terus merebak
bau yang tak dapat kutebak dari mana
arahmya bau yang tak mampu kusibak ketika
memintas di jalan raya bau memenuhi rongga dada
sehingga sel-sel darah bertanya-tanya pada jantung
yang selalu setia pada arah dan konstelasi
ataukah dalam jaga dan mimpi
tergantung-gantung
bau di rimbun hutan pala
tak juga
bau di timbun hutang niaga
tak juga
bau ludah kawanan walet di seribu gua
tak juga
bau mendudu hiu mengejar mangsa
tak juga
bau pemimpin seluruh dunia berdansa
tak juga
bau peluh pekerja pada sejuta dermaga
tak juga
bau selaksa guci kesturi dari persi dan bizantium
tak juga
bau amerika itali cina inggris nepal swiss mongolia paris
tak juga juga?
bau djengis khan barangkali menyeret-nyeret
mongolia sampai samarkand
bau alexander barangkali bangun metropolis
satukan dunia bersugun-sagan
bau ratu aramis barangkali
ketika dipelur nebukadnezar
taman gantung semerbak mawar
bau yang racun jadi tawar
bau yang mabuk jadi sadar
bau yang kuncup jadi mekar
bau tak ngalir di buku
bau tak hadir di rindu
bau tak tau aku
jadi apa kau mau
datang padaku
tak ngucap salam tak ketuk pintu
tak tahu malam tak mau nunggu
apa tak tahu rindu padamu
berjuta jam dan denyut waktu
hanya sekali kita bertemu?
Tahun: 2006/9 Ramadhan 1427
Sumber: Majalah Horison Edisi IV (2007:10-11)
Waktulah Harapan
Karya: Muhamad Khalabi
Untuk yang berjiwa keranda menunggu
nafas
Di hari kala doa tak mau lagi melindungi
Semua angin ini terlalu mulia untuk mencintai
Ketiada berartian karena luka sang pencinta
Adalah cinta
Dimana rindu adalah perhiasan terindah
Yang jarang diminta
Karena bumi semakin lapar
Waktulah harapan perbaikan
sebelum musnah bersama cinta
Tahun: 2006
Sumber: Majalah Horison Edisi IV [Kakilangit 124 (2007:13)]
Sajak Mimpi Buruk
Karya: Winnie Aisha Yunisha
Sayap-sayap patah
Luka kesendirian
Ingatan mengerikan sepanjang usia
Airmata hujan
Sumpah serapah angin
Ada hal yang tak pantas untuk diingat
Jiwa yang tertoreh
Hati yang teriris
Cupid yang menangis di mimpiku
Disusul jerit kekalahan ksatria
Di mana iblis menari anggung
Di hatiku yang patah beribu kali
Badai keperakan dan kuda-kuda yang berlarian
Lolongan serigala
Tragis, tak terlupakan
Tahun: 2007
Sumber: Majalah Horison Edisi IV [Kakilangit 124 (2007:21)]
Syair Air : Sunlie Thomas Alexander
Karya: Evi Sri Rejeki
Bukankah danau adalah surga bagi air, sun
Seperti pun samudera
Dan perahu bagai kerangkeng
Kenapa tak hadirkan saja canal dan sampan?
manusia memang tak pernah benar sepotong daging
ia berpasangan dengan tulang
dan semua itu tak cukup membuktikan kemanusiaan
aku tak mau naik perahu, sun!
karena aku adalah air, tempatmu mendayung
Tahun: 2007
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 13 Desember 2008
Pamit
Karya: Mutia Sukma
selamat malam
malam selamat
sebab di luar gelap tak terlalu gelap
dan kenyataan tak semenakutkan yang
dibayangkan
Pergilah!
aku tetap di sini,
bukan menunggumu
aku di sini saja menunggui kekasihku yang
lain, kekasihku
,,
menjauhlah!
bersepakat pada hari-harimu yang lindap
dan bila kau menemikan kekasihmu yang
bukan aku
serupa asah tumpulkan hatinya
atau terbiasakah dengan sendiri sebab
dalam sendiri kau tak pernah kehilangan
Tahun: 2007
Sumber : Harian
Pikiran Rakyat Edisi 15 November 2008
Di Kotamu
Karya: Fairuzul Mumtaz
di kota yang kau kenalkan
akulah pengembara linglung.
kau bakar peta
lampu-lampu jalan, pamflet-pamflet di tembok kota
jadi abu etalase mimpi sebab kepulangan
adalah menyusun kembali masa lalu
tak kutemukan lagi jalan yang sama
bintik-bintik jalan menghapus diri seorang anak
maka di gerai rambutmu kutitipkan malam-malamku.
Tahun: 2008
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 13 Desember 2008
Luka
Karya: Fajri Andika
bagaimana membuat luka
jadi bahagia
aku menyulam darah
yang dulu kau sobek di suatu senja
menetes di setiap persimpangan jalan
aku mencari jejak sinar
namun tubuhmu yang terbungkus matahari
masih juga menari di balik cakrawala
Tahun: 2008
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 13 Desember 2008
Cincin
Karya: Heri Maja Kelana
usiaku tiga kali lipat daun
pada pohon mahoni
,,
keterasinganku tenda pengungsian
menampung luka tanah
menampung reruntuhan rumah
,,
dari dua arah berbeda sunyi masuk
pada tubuh
pada anak-anak yang bermain
ketika orang tuanya mengantri
nasi di dapur pengungsian
,,
malam serasa lama dilalui
bahkan bulan tak pernah singgah
sama sekali
cahaya muncul dari sebatang lilin
,,
segeralah tutup tenda itu
ketika musibah melanda
tanah kembali
biarkanlah ia datang
karena kita telah bersatu
seprti cincin yang kukenakan
di jari manismu
Tahun: 2008
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 15 November 2008
Kotak Sabun
Karya: Langgeng Prima Anggradinata
Kusimpan dalam kamar mandi,
kotak sabun yang selalu kau pakai.
Mewanginya bertahun-tahun,
tak luntur-luntur juga.
Kukecup mewanginya.
Masuk dan bermain dalam kepalaku,
kulihat bunga-bunga di taman,
bunga-bunga yang banyak dan harum.
Kupu-kupu juga bermain di sana,
bebas seumpama kata-katamu
yang bebas mengurung telingaku.
Suatu ketika,
aku masuk ke kamar mandi,
kotak sabun itu telah menjelma
seperti punggungmu yang putih dan lembut.
Mewanginya menikam mataku tentang masa lalu.
Yang sungguh telah kusimpan dalam kotak sabun.
Kulihat, rambutmu tergerai di atas punggungmu,
Lalu, kusentuh dengan lembut dan mesra,
Punggung itu berbalik dan menikam dadaku,
seperti kata-katamu yang selalu menikam dadaku,
Kata-kata itu kau ulang lagi lewat pesan singkat
pada cermin yang berembun di kamar mandi:
“Sudah semestinya kau buang.
Cinta, bukanlah kotak sabun,
yang mewanginya menahun.
Tetapi, luka yang sakitnya sepanjang musim.”
Kubiarkan tubuhku yang merah duduk di atas closet,
diam dan selalu memandang kotak sabun berabad-abad
sambil demikian menangis.
Tahun: 2008
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 13 Desember 2008
Sekotak Puisi
Karya: Langgeng Prima Anggradinata
Begitulah,
Sekotak puisi telah kuberikan padamu,
sebagai embun yang telah kupintal
setiap malam. Adalah kata-kata,
pengakuan, dan permohonanku kepada bulan.
Agar setiap malam, izinkan aku untuk hidup
bersama puisi.
Sekotak puisi telah kuberikan padamu,
Peliharalah ia.
Seperti memelihara kucing kesayanganmu,
seperti memeliharaku
dalam kandang yang ada di matamu.
Puisi telah kukurung
dalam sebuah kotak damar.
Bagaimana akan kuberikan padamu,
sementara kau hanya sepi dan biasa.
Keringkah puisiku di kamar mandimu?
Seperti kemarau di Kalahari.
Kata-kata telah menjadi hujan di kotamu,
membasahi rambut dan telingamu,
tapi kau akan hangat,
seperti embun wol yang kupintal setiap malam,
kuberikan, agar demam
tak hinggap dileher dan kepalamu.
Begitulah.
Kuberikan puisi yang telah kubingkai
dalam kertas-kertas lontar.
Jangan kau lempar pada lelangit,
karena ia akan selalu hinggap
pada jendela kamarmu setiap malam.
Tahun: 2008
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 13 Desember 2008
Pertanyaan-pertanyaan Tentang Dunia
Karya: Mutia Sukma
i
sayang, terangkan padaku mengapa pantai
mencipta ledakan keindahan
namun memperangkap siapa saja di palungnya
yang dalam
juga laut yang terlihat birunya saja
menyimpan istana bagi ikan-ikan
mutiara, karang, serta terumbu menyibak-nyibak
,,
ii
lalu mengapa aku diberi nama Sukma
jika mati itu pasti
mengapa kakakku bernama Takdir
toh dia tak bias menulis nasibnya sendiri
mengapa nama punya arti sedang semuanya
cuman harapan sekedarnya
,,
iii
ceritakan lagi padaku
mengapa Tuhan mencipta cinta
dan memisahkan di lain waktu
dengan cara rahasia
mengapa dunia yang kukagumidibuat
sedang akan dihancurkan juga akhirnya
Tahun: 2008
Sumber : Harian Pikiran Rakyat Edisi 15 November 2008
Terima kasih, sudah menyimpan puisiku.
ReplyDelete