KUMPULAN PUISI REFORMASI (Part I)
Qalb
Karya: Atasi Amin
aku bersihkan
kacamata,
masih samar
masalah
Nya
Tahun: 1998
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Mei 1998
Karya: Atasi Amin
Ibu kita
Ibu kota
Ibu pertiwi
Menangis
Negeriku
Ngeriku
Tahun: 1998
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Partai
Karya: Atasi Amin
Merah
Kuning
Hijau
Biru
Pandanganmu
Pandanganku?
kita memang beda
Tahun: 1998
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Kantong
Karya: Atasi Amin
Banyak
ruang
Banyak
AC
Banyak
uang
Banyak
ACC
Tahun: 1998
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
International Monetery Fund
Karya: Atasi Amin
Ironis, IMF
Sekali tepuk,
Krisis moneter
Tahun: 1998
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Darwinis
Karya: Gus TF
Dalam usia cuma seletup, kau berpikir
tentang mengubah. Sebulir air, berapa lamakah
menetesi karang sampai menjelma sebuah wadah?
Lupakan Adam dan Hawa. DNA pertama butuh
entah berapa mutan jadi entah apa menjelma kera jadi
manusia. Milyaran tahun, Saudara. Pernahkah kau
berpikir tentang sebuah fosil sebelum cecak
sebelum buaya? Kautahu: ia luput ia tak ada.
Dalam usia cuma seletup, engkau berpikir
tentang mengubah. Sebulir molekul, berapa lamakah
menanti kosmik-radiasi
sampai menjelma DNA pertama?
Lupakan orang dan manusia. Makhluk pertama itu entah
apa tapi bukan reptil bukan primata. Berlindung, menyuruk
nyuruk dari cahaya. Milyaran tahun, Saudara. Pernahkah
engkau berpikir betapa rumit betapa jarak datang
dunia? Cuma seletup: dan kau tak ada. Ha-ha-ha.
Tahun: 1998
Sumber: Antologi
Puisi “Daging Akar” (2005:23)
Negeri Mengulang
Karya: Gus TF
(Lama sudah) aku
pergi dengan orang-orang, yang berkendara
dan hidup dalam besaran. Kami menunggangi meter, gram, mil,
batas
laut, lepas pantai, kawasan terukur penuh bilangan. Dan bila
kami
terlewat atau menyeberang, kami disambut berondong
tembakan. Seolah kami berada di daerah terlarang,
atau pada suatu tempat di medan perang.
Lama, lama sudah aku pergi dengan mereka. Dan setiap usai
mengukur atau membilang, kami berkata, "Ulang lagi!
Ulang!"
(Lama sudah) aku hidup dengan orang-orang, yang setiap usai
membilang selalu mengulang. Mungkin kami bakal jadi orang
yang amat teliti. Tapi tak pernah, karena sebenarnya kami
senantiasa waswas selalu takut-takut. Kami takut pada
tembakan, pada letusan; kami takut pada ancaman.
Lama, lama sudah kami mengulang. Dan setiap kali usai
mengulang, tetap saja kami berkata, "Ulang!" Tak
henti
tak sudah. Bertahun-tahun, berzaman-zaman. Sampai
lenyap rasa takut hingga hilang cemas ancaman. Sampai tak
terpikir apa pun kecuali mengulang. Hingga mengulang
jadi biasa; jadi niscaya. Dan pagi bila bangun,
selalu, akan kami temukan hari yang sama.
Kata kami, "Seperti kemarin, bukankah hari ini juga
Selasa?"
Tahun: 1998
Sumber:
Antologi Puisi “Daging Akar” (2005:39-40)
Setiap Terjaga
Karya: Gus TF
Setiap terjaga, ia berkata, "Celaka,
kenapa aku terbangun di tubuh yang sama?"
Tapi tidak. Setiap tidur, sel dalam dagingmu
menggeliat mengupas rupa. Selalu ia merasa
ada yang lekat seperti lendir, membelit,
dan terus membelitnya.
Setiap terjaga, ia berkata, "Celaka,
kenapa aku terbangun di zaman yang sama?"
Tapi tidak. Setiap tidur, waktu dalam dirimu
berderak memangkas dunia. Selalu ia merasa
ada waktu lain bagai gelambir, menjerat,
menjerat, tak henti mengepungnya.
Tahun: 1998
Sumber: Antologi Puisi “Daging Akar” (2005:24)
Negara Waktu
Karya: Gus TF
kau pun lalu berkata, "Hanya ketika waktu tak ada,
kau boleh bilang keabadian engkau yang punya."
Tapi inilah kota
— katamu negara — yang tergerus
angan cahaya. Setiap hari bila terjaga, kau bermandi khayal
khatulistiwa. Katamu, "Lihatlah akar menjalar, merucut
tumbuh
ke batang tubuh. Atmosfer cair, melengkung rebah ke bingkai
air.
Sungai inikah, cemas sejarah, mengalir-bermuara ke laut
entah?"
Tapi inilah kampung — katamu negara — yang tercangkul
di ritus tanah. Setiap hari bila terjaga, engkau tercerap,
lenyap
ke khayal indah. Katamu, "Lihatlah gedung menjulang,
menyundul
awan bagai melayang. Lampu berpendar, berdenyar ke gelung
akar.
Beton inikah, cemas sejarah, memanggul-bawa ke zaman
entah?"
Mereka pun lalu berkata, "Hanya ketika kau tak ada,
kampung dan kota bagai waktu, akan memisah tak
berkira."
Tahun: 1998
Sumber: “Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:38)
Susi, 2000 M
Karya: Gus TF
1
Tetapi, Susi.
Dengan tak ada badan,
apakah kaubisa pergi ke kematian? Kaupilih
jalan kesunyian. Tapi mereka, engkau lihat,
membakal dan menjadi di jalan kesalingan.
2
Saat kau
pergi, tak ada takdir yang
membuntuti. Demikian pun ilusi, atau baying
sehari-hari. Lupakah engkau — kami tak yakin,
pada misteri? Bertahun berabad-abad engkau tak
henti mikir materi. Memikir kayu memikir besi.
Tetapi, Susi.
Kauluput tentang diri. Kini,
matamu tutup telingamu tuli. Hidungmu juga tutup
lidahmu juga mati. Kosong, pucat, dan lesi. Seperti
serat hilang sari. Tetapi, Susi? “Aku bukan Susi!
Aku cuma frekuensi! Seperti radio atau televise!”
Tahun: 1998
Sumber: “Daging
Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:27)
Jarak Jua
Karya: Gus TF
Waktu lain untuk kosmos lain. Kosmik lain
untuk tubuh lain. Demikian ia, terus dan terus ke
dagingmu. Kautepiskah, wahai, pikiran itu?
Penunggang siang bebintang malam. Pengendara
langit wewaktu dekam. Akhirnya: kaulangsirkan kami,
di stasiun lain di peron lain. Di kosmos lain, kau gumpal
gumpalkan kami. Seperti dulu atom pernah menangis
nangis membongkah-bongkah jadi materi.
Jadi rongga. Menjadi ceruk menjadi kota. Sesekali,
kaugerus kami. Kami menjerit, meraung-raung memukul
dada. "Jendela! Jendela!" Tapi kosmik. Tetapi
kosmik,
telah menjelma jagat raya. Jagat raya! Seperti kini, bila
malam, kami mendongak dan cuma mendongak sebatas
mata. Dunia lain. Waktu lain, untuk tubuh dan daging
lain. Kautepiskah, wahai, jarak dan kesepian ini?
Tahun: 1998
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (:26)
Kutukan Itu
Karya: Gus TF
dan bebas. Kukatakan takdirku: Mencari.
Akhirnya datang kutukan itu. Kebebasan.
Adakah yang dapat engkau temukan? Tak ada.
Karena memang tak ada makna pada diriku.
Juru bisikku, kaukatakan dunia ini makna.
Kebebasan. Akhirnya datang kutukan itu.
Mencari. Tidakkah engkau budak Tuan Eksistensi?
Sepanjang hari, berabad-abad memikul kata: Makna,
esensi, makna, esensi. Sampai capek. Sampai letih
dalam sajakku. Tapi tak ada. Karena makna, rnemang
hanya pada dirimu. Juru takdirku. Juru takdirku.
Larutkan aku, dalam terali penjara maknamu.
Tahun: 1998
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:25)
Seratus Juta
Karya: Taufik Ismail
Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya
Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa
Kini kutundukkan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja
berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya
Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya.
Tahun, 1998
Syair Empat Kartu Di Tangan
Karya: Taufik Ismail
Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami
Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas
ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku
memang keserakahan.
Tahun, 1998
Bahasa Itu Laut
Karya: Ahmad Faisal Imron
mula-mula aku melihatmu dengan amarah sepeti itu
kau masih juga kelabu, kau akan kehilangan diriku
maka terjadilah sebuah interview yang singkat
setelah enam belas tahun silam: aku menelanjangimu
pasir putih, gelombang putih dan sebuah lengkungan memanjang
selalu saja ditandai dengan sebuah rangkulan, tarian,
dengusan
selalu saja melahirkan dirinya sendiri, benar-benar fantastis
dan itu, sama bentuknya dengan evolusi mimpi-mimpiku
masih di tepi ini, kulihat kau begitu mengapa
o, sebab aku tak mengirim sesaji untukmu?
bunga-bunga langka
ribuan kepala domba
Tuhan begitu bermakna
sangat sulit mendengar kepak sayap ratusan camar
atau lambaian tangan saat melepas kepergian sebuah kapal
tak ada jaring nelayan maupun mercusuar
perawan-perawan bugil ataupun gerak cuaca
laut ini untukku, dan yang lebih gila dari khayalanku
angin yang kusut mengangkat pasir-pasir ke udara
inilah anggur neraka! sebuah metafor sederhana
bahkan jika sore ini hujan dilengkapkan, sangatlah ayu
bagiku
kedahsyatan itu, kebiruan itu, menekan diri sendiri
namun, sekali waktu, pahamilah bahasaku ini
bagaimana ombak-ombak tak menyakiti pantai dan tubuh karang
bagaimana pembuatnya seperti syair-syair sufi yang tenang
syair-syair cinta yang tak akan membuat alam bertanya
namun, di hati ini, kau masih juga menderu
menyetubuhimu adalah cerita lain, duhai dewa biru!
kemudian kulihat lidahmu menjilat pantat anak-anak
atau kemudian mereka yang segera menjatuhkan diri
hempasan demi hempasan, sebuah lukisan hancur di kejauhan
sore ini pula, matahari yang tawar, memar di pundakmu
kaulah neraka itu
kaulah firdaus itu
begitulah aku akan selalu menyebutmu
sejak semula aku melihatmu dengan tubuh yang hancur
ya, enam belas tahun yang tak akan kulupakan itu:
kelahirannya, kefanaannya, menjemput diri sendiri
setelah diam-diam gerimis menyentuh pelipisku ini
esok atau lusa, pada siapa kutitipkan cinta ini
sebab kau masih juga menderu
sepertinya aku ingin mengutukmu
singkatnya, bahwa segala apa yang kaumiliki
menyerupai pula getaran doa-doa malamku
tangisan masa lalu yang selalu kusemburkan kembali
laksana jutaan anak panah, melubangi luka-luka
merobek usia yang tersisa, yang selalu tersisa itu
o, bahkan bumi yang kaubalut ini
seperti tak pernah percaya
bahwa kuburan burung-burung itu adalah aku
bahwa kuburan perahu-perahu itu adalah aku
maka sempurnakanlah tubuhku, selamanya untukmu
dan hanya dengan begitu nuraniku dapat mengagumimu
tetapi indah tarianmu, lidahmu, rahasiamu
sungguh, enam belas tahun terlewati, masih juga terbaca
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Datang dari Masa Depan” (2000:11-13)
Malam Pangandaran
Karya: Arie MP Tamba
Di pantai berpapas
mendung paras
Tatapnya
Gemuruh berlaga
kerak lumut
dasar laut
Ia tawarkan hangat lidah pada turis lokal
Kukunjungi pantai puncak iseng
Sesaat berbincang tentang kamar kasur seprei
dan kelamin tak terlindungi
Telah lama kami tinggalkan rumah
Suara ibu ratapan langit
mengambang di gunung
ke tempat itu nasib buruk mendampar
Menggondol putus asa kaki bukit
Setelah percakapan
kupanggil para nelayan
tak pulang
Tak sebuah nama menyahut
sekilas kilat melucut pantai
berlampu
tiang sampan patah
dikunyah gelombang
Dan deru sungai pilu
tersedu
setelah kering masa lalu
menjauh di hulu
musim terbakar dusun keramat
orang-orang menghanyutkan riwayat
dan menapaki pedih sendiri
Kini di losmen
kegemaran melepuh di bental
kamar mencair
kesadaran menggeliat
di selangkang semerbak
pesona lembah parahyangang
terguyur hujan
nguapkan ramuan kabut
pelangi singkat
Dari terminal gelap
asap mengepul
mesin menderu
mengikis mimpi
tentang matahari meninggi
di dasar kaca lemari
terik mengintai
dari bayang sempit
keningmu
Lidah
Hangatnya
Menjulurkan segunduk pulau
riuh tertidur
Menyeruk ceruk kusut malam
Pangandaran susut
di tubir pagutan ngilu
bibir pantai
berpasir sepi
Tahun: 1999
Sumber:
Antologi Puisi “Datang dari Masa Depan” (2000:16-17)
Sajak Dari Sebuah Garis
Karya: ARS Dewo DP
Sunyi yang menjemputku dari telaga dan hutan
sebuah garis memancar lurus dari ranting pohon kering
akulah yang di balik puing-puing itu
memesan ratusan cermin dari bibirmu
Mata itu, memanggil dari alam lain
kandungan garis yang
digoreskan
adalah keindahan yang subur di alismu
menari-nari dengan gemulai duka
barangkali hari terus berganti
dan pagi yang purba
selalu membangunkanku menuju rumah-Mu
Kemudian kutarik garis itu
Pada pusaran airmata dalam mimpi
Pada senja yang dingin dan lembab
Dan dihayati oleh daun kering
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Datang dari Masa Depan” (2000:18)
Di Kelap-Kelip Malam
Karya: Atasi Amin
Kulihat
Di atasmu ada bintang
Di wajahmu ada bolong
Di matamu ada uang
Di dadamu ada kutang
Di perutmu ada bimbang
Di bawahmu ada remang
Di
kakimu ada baying-bayang
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Loving
Karya: Atasi Amin
a smile
a glow
then heart lettered
: Wini
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Tafakur
Karya: Atasi Amin
dari mesjid
seribu bulan
air diusung
ribuan kali
pula menyeru
asma Allah
tanpa tasbih
kali ribuan
ekstase?
KasihNya
segala
Nya
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Noktah Kerusuhan 14 Mei 1998
Karya: Diro Aritonang
jangankan rakyat
belalang pun ikut menjarah !
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Sajak, 1
Karya: Gus TF
Kau tentu kenal kerumun itu, gumpal kata kosong
dalam benakku. Sesekali bagai ruang , tapi lebih sering
hanya geronggang. “Engkau bayangkan ia berlesatan
jumbuh, menggeliat-nyembul dari kepenuhan.” Ah,
Kau tentu kenal kerumunan itu, gumpal kata entah
dalam sajakku. Sesekali bagai bara, tapi lebih sering
hanya arang-hampa. “Kaubayangkan aku gerabah
dan berharap dibakar semacam entah.” Sia-sia,
alangkah.
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Daging Akar” (2005:44)
Ranjang, Angin di Lantai 14
Karya: Gus TF
Sampai ke rumahmu—sampai ke ranjangmu,
kehilangan itu bahkan tetap membuntuti. Seluruh
sinyal (yang disembur masa kemudian) melikur,
mencangkul balik tiap kenangan. Setiap … aih,
sampai ke tidurmu—sampai ke dengkurmu,
kepedihan itu bahkan terus menguliti. Mimpimu
(yang benamkan akar dalam dagingku) meruap,
Menguap lesap ke lorong gelap. Setiap … aih,
auman angin itu: Mengulangmu, mengulangku.
Tahun: 1999
Sumber: Antologi
Puisi “Daging Akar” (2005:47)
Daging Akar
Karya: Gus TF
akhirnya, siapa kausebut kini: Si serat dingin
ataukah daging yang terjanji? Seperti takdir, sosoknya
rebah membuntuti. Hanya pada waktu ketika bergerigi,
akan bisa kutangkap ia: Saat mengerut dalam diri.
akhirnya, siapa kautangkap kini: Si serabut mati
ataukah sel yang berjalin? Seperti lilin, nyalanya lirih
terpantul cermin. Hanya di pedih-akar ketika terpilin,
akan bisa kuraih ia: Jawaban lain untuk dunia lain.
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Daging Akar” (2005:48)
Demikianlah Waktu Bicara
Karya: Moh. Wan Anwar
demikianlah waktu bicara, bersepakat dengan kita
kuil itu biarkan tetap suci
aku sekarat di barat kaulebur di timur
kau memilih semak aku mengembara di belantara
dan dari luar pagar, di antara sengat matahari
malam yang diguyur wiski
kupandangi lagi kuil itu, kukenang celah
pintu —memang cinta telah tertanam
kuperam meski Cuma menjadi cuka
demikianlah jalan berbatu
tanah tergores, pada luka yang ditoreh
ada janji mengekal
dinding retak tak terbaca, harap lindap
di antara sumpah dan kutukan
mestinya kita berakhir di pelaminan
menganyam duka jadi mosaik
tapi aku tak berhasil menyelami samuderamu
kaugagal menangkap kalimat-kalimatku
mari kini melupa, menjadi bijak dan tua
melukis air mata di akhir bab yang duka ini
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:25)
Negeri Laut
Karya: Moh. Wan Anwar
Di sekitar deret penjual koran
cuaca seperti buku-buku porno
di dekat restoran bermenu sampah
segerombol remaja mengecat oranye di kepalanya
seperti huruf-huruf seragam pada reklame
mereka merasa di seberang benua
di sebuah sudut, di kedai kopi
matamu tersihir juga—serentak bergumam
atau mungkin sejenis dzikir
“dunia seperti dongeng, kambing-kambing
belanja dan merumput di televisi…”
ada juga kalimat sakti pada spanduk
isyarat riwayat gawat, dulu
memang ada sebundel waktu ketika karang
bertemu tangan menjelma gairah
dan laut jadi meriah. Kapal-kapal singgah
buritan penuh dengan rempah-rempah
penduduk sibuk berjabat tangan
membagi senyum dalam syukur dalam ibadah
kini jendela-jendela itu berdebu
tangan berhias golok, senjata di mana-mana
dan kita—juga gerombolan remaja itu—buta
di hadapan mereka yang meluncurkan
kalimat lurus berbaris bagai serdadu
di sekitar deret penjual koran, kota kehilangan akar
lidah, laut dan perahu. Dan di sudut muram
kopi berbau amis. Koran-koran menggambar
peta robek, wirid cabul
dan cinta tergeletak di lantai bursa
Tahun, 1999
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:25)
Nyatanya Tak Ada yang Istimewa
Karya: Moh. Wan Anwar
di penancangan, di rumahmu, kita buka kembali
album kerusuhan—ah, tak ada yang istimewa
mimpi ternyata bukan hanya milik kita
kaubuka kulkas seperti membuka perkara
di negeri ini. Kau sodorkan
air putih setelah
gerak mata yang letih. Di sela-sela almanak
sunyi membungkuk kian renta
kita lipat hamparan peta berdarah itu
musim kemarau mengirim angin yang anyir
terlalu berat kita berharap—dan harap, ah
bukankah tak lebih nonsesns. Kita lalu merokok
sama-sama terdiam di antara bulatan asap
dan masa silam, igau dan kesadaran
kau tuangkan lagi air putih
kerongkongan sesak oleh hembus yang sama
kita saling menunggu seperti dua aktor
di bawah juntaian kawat dalam teater
pulanglah, katamu, hari sudah malam
kita bereskan korek dan bungkus rokok
menyimpannya di dalam saku
menyimpan nyeri yang tak menentu
di penancangan, di rumahmu, kita buka kembali
bab-bab awal percintaan—tapi tak ada yang istimewa
kita terpasung dalam waktu dan usia
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:24)
Aku Dan Alang-Alang
Karya: Nasaruddin Falufuz
mungkin kau tak akan pernah tahu
akulah yang sedang menebas
alang-alang di hutan itu
dan menepikannya ke seberang yang jauh
aku akan tetap berdiri di sana
membangun rumah
dari kristal keringat, air mata serta
darah
biarlah kau tak akan pernah mengerti
apa yang kumaksud tentang rindu
dan kesetiaan
sebab tanta alang-alang itupun
langkahku sudah tertatih-tatih
Tahun: 1999
Sumber: Antologi Puisi “Datang dari Masa Depan” (2000:57)
Penglihatan
Karya: Gus TF
Telaga ini,
bila kau berkesempatan merenanginya,
konon kata mereka, kita akan punya penglihatan yang sama,
sehingga apa pun yang kaukata, aku juga bakal
menyaksikannya.
Samudera ini,
bila kau berkesempatan merenanginya,
konon kata mereka, kita akan saksikan bening — jernih
semesta,
karena dasarnya, sungguh aneh, lebih terang daripada
permukaannya.
Tahun: 1999
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:42)
Serigala
Karya: Gus TF
katamu, bila malam, aku akan menggeram
dalam mimpimu. Sungguh aku tak tahu,
hewan apa yang tak pernah
tidur dalam diriku.
Katamu, kala tidur, aku melompat
dan melolong ke jendela. Sungguh aku
tak tahu, kecuali bahwa bulan
memang indah malam itu.
Tahun: 1999
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:43)
Pendatang
Karya: Gus TF
Nanti, ketika aku pergi, akan tiba pendatang lain
dengan kalimat lain. Mungkin mereka jelaskan, segenap
misteri kehidupan; tetapi tidak tentang mereka sendiri.
Selalu,
kata mereka, "Ada lampu. Tapi bukan buat disulut dalam
diri."
Namun, karena
bertetangga, kau senantiasa terus tergoda
untuk tahu tentang mereka. Ada kalanya lupa, tetapi lebih
sering
kau saling suruh berbaku-hasut mendesak mereka. Sampai suatu
ketika
mereka berkata, "Ada mitos. Tapi semua cuma dongeng tak
berguna."
Besoknya,
terkejut, kausaksikan semua: Puing-puing hangus,
tubuh-tubuh gosong, rumah-rumah rata. Di tengah sangit
udara, kau
tiba-tiba ingat kejadian semalam, dan berkata, "Lampu
itu! Ada nyala
di dada mereka!" Semua pun lalu menangis. Menangis,
sejadi-jadinya.
Tahun:1999
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (:41)
Kidung Malam
Karya: Yunus
Abidin
Di pesisir malam aku terjaga
Bungkam.
Anganku mengembara
Menembus halusiasi
Bersenggama pada pesta
Mimpi-mimpi.
Hamparan pasir kegelapan
Yang kelap dicium kata-kata
Asing, telah mengendap pada
Hatiku
Bertandur pernik-pernik
Kerinduan dimana cinta adalah
Gelombang pasang
Jauh dibatas kaki langit
Matahari masih terlelap
Dengan kengerian yang panjang
Ketika sangkakala telah
Mengambut bersama embut yang
Menetes dari hatikuDan malampun mengembang
Dalam dengkur antara bijak dan
Keberpihakan pada mimpi yang
Tecemar asap-asap kepalsuan
Hingga bosan menjadi keraguan
Tahun : 1999
Sumber : Orasi Kue Serabi, Antologi Puisi Cetakan Pertama
Lagu
Cinta
Karya: Putu Wijaya
Kulihat malam begitu dalam
Dan angin berdesah bimbang
Aku pun tertegun sebelum melangkah
Masihkah kau simpan perasaan sayang
yang dahsyat dalam diriku
Kudengar senandung lamat-lamat
Begitu akrab dan kukenal
Seakan melempar ke masa silam
Ketika kita bertemu di ujung jalan
Saling membaca perasaan
masing-masing
Dan setuju untuk sama-sama berjuang
Haruskah cinta berakhir sedih
Karena kita tak memilih
Tidak, kulihat nyala api masih
mambakar
Ketika kita terlena dan tubuh
mengucap
Betapa dalam perasaan bertaut
Bahkan semakin bersatu ketika jalan
tertutup
Dan akupun bertambah yakin
Tak ada yang mampu membunuh yang
bertekad
Kulompati pagar dan menyelinap masuk
Berdiri didepan pintu memanggil
namamu
Mengucap salam dan sebuah janji
Berikan aku kesempatan menyayangi
Kita telah bergetar disini
Tidak pernah berubah hanya lebih
dewasa
Tinggal kamu siap membuka pintu
Tiba saatnya untuk berhenti ragu
Tahun, 1999
Meja
Kayu
Karya: Cecep Syamsul Hari
Inilah rahasia senja, usia yang
terbuang
Maut yang mengundang dan menghindar.
Laut jauh
Malam pualam. Kudengar berbagai
suara dari dalam; pertempuran
Tarian mephisto, erang dan keluh,
jamu yang diseduh, sedang dia
Memungut bayang-banyang; luka dan
prelude dari luka
Yang luput. Ada perempuan matang
yang bergigi kawat, berdiri disebuah hari, ujung tahun yang basah, di bawah
pohon cemara
Berlampu lebat. Pengakuanku terbesar
padamu, aku berhenti
Menemui seorang gadis, dan minum
kopi lagi. Semakin jarang
Aku memberimu ciuman, umurku
berkurang
Dan kesepian. Telah ku terima
kegagalan dan hujatan
Sebagai cinta. Aku keluar, sepatuku
selalu bersemir coklat,
Kaus kaki baru dan lembut, ah,
bukankah telah lama kering
Rumput di halaman dan chopin di masa
silam menulis lagu pedih
Tentang hujan. Gerimis dan rincing
uang logam, pemantik api
dan pipi yang penuh, sudut kotamu
selalu riuh. Aku bernyanyi,
jika sedih aku bernyanyi: tepislah
cintaku, dan esok pagi
aku akan bangun di kamar hotelku.
Sendiri. Yang kusayangi
selalu pergi inilah rahasia senja,
tanpa patahan kenangan
dan hendak memuja mitiologi.
Alangkah riang ketika langit
terang, ketika langsir, peluit
tukang parkir bagai jadwal
yang mangkir. Aku murung dan kecewa,
di stasiun Tugu
melompat-lompat dan tertawa.
Bermain, faust, bukan bersedia
keras kepala, untuk senyum seorang
perawan, pemimpin yang rebut,
sahabat yang memelihara serigala
dalam dadanya, untuk bukan
apapun. Tidak seperti para terusir
di tanah-tanah pengungsian,
aku Cuma sedikit kehilangan: daun
jatuh percakapan
yang berayun-ayun; dan seorang
perempuan lemah
melepas kerudungnya, mendedah
kecupan, menata surat-surat
hadiah-hadiah remah, dan mengubur
bekas pelukanku
di bawah meja kayu.
Tahun,1999
Doa
Sehelai Daun Kering
Karya: Emha Ainun Najib
Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun
diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk
diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun
dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk
didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh
seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak
untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat
hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku
untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad
dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke
laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah
serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maĆshum dan aku
bergelimang hawaĆ
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan
aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud
kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun
bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin
pada kasih sayang dan pembelaanMu
Tahun, 1999
Sajak Embun
Karya: Atasi Amin
udara
utara
hening
bening
menjaga riwayat
hingga di sini
pagi
berwujud
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Pengaduan
Karya: Atasi Amin
Uang palsu
Obat palsu
SK palsu
Oli palsu
Nama palsu
Palsu
Palsu !
Bagaimana pulsa?
Maaf,
Salah sambung
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Darah
Karya: Atasi Amin
Darah biru
Dulu
Darah merah
Sekarang
Darah putih
Keputihan?
Darah di mana
Darah tumpah
Tumpah darah?
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Sajak Daripada
Karya: Atasi Amin
daripada nonton
omong kosong politik
daripada nonton
demo para provokator
daripada nonton
akrobat hukum
daripada nonton
gonjang ganjing moneter
daripada
daripada
daripada
mendingan
nonton mimpiku sendiri
lebih realistis
dan hidup !
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Condom
Karya: Atasi Amin
Man
And women
Fight
Bite
In a same
Wrap
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
No comments:
Post a Comment