KUMPULAN PUISI REFORMASI (Part II)
Sajak Baru
Karya: Atasi Amin
Sepatu baruku
Bikin lecet kakiku
Pacar baruku
Bikin hatiku lecet
Bagaimana,
Malam pertamamu?
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Tegur Ibu Kepada Anak-Anaknya
Karya: Atasi Amin
Jangan berebut kursi,
Nanti rusak !
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Stimulus
Karya: Atasi Amin
Di atas jemuran
sepotong celana dalam
berayun ambing
ditiup angin
diterpa matahari,
hangat
sama saja
ketika dipakai;
kedutan
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Sajak Malam
Karya: Atasi Amin
malam
antarkan aku
ke balik bilik kamar
hormon muda
dan busana sedikit longgar
pada dipan reot
engkau berbaring
dengan dada yang terbuka
saperti aquarium
kena sorot
jari jari
pun berkelana
berkali kali
terengah
di tengah
pentas
aku pilih kualitas
engkau pilih kuantitas
enti tas baru?
malam pun mafhum
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Sajak Hidup
Karya: Atasi Amin
gelandang
gelinding
gelundung
gelendeng
gelondong
roda dan aku
nyaris mirip
nasibnya
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Sense Of Crisis
Karya: Diro Aritonang
rakyat megap-megap
dpr menguap-nguap
rakyat mangap-mangap
pejabat melahap-lahap
rakyat mulas-mulas
menteri malas-malas
rakyat melas-melas
gubernur menguras-nguras
rakyat ngemis-ngemis
presiden terus turis !
Tahun: 2000
Sumber: Antologi Puisi “Laut Merah: Antologi Tiga Penyair”,
2001
Sajak, 2
Karya: Gus TF
Satu kalimat dalam dirimu: Suatu kali,
engkau akan direnggut oleh waktu. Satu
kalimat dalam diriku: Selalu mencoba
ungkapkan diri, tak sampai-sampai,
tak sampai-sampai kepadamu.
Tahun: 2000
Sumber: Antologi
Puisi “Daging Akar” (2005:49
Malin
Karya: Gus TF
suara itu:
Gergaji mengerat kayu. Dalam diriku,
meteran dan siku-siku. Suara itu, daging meminta palu.
Dalam diriku, Malin terbaring di ranjang batu.
suara itu:
Palu menggasak paku. Dalam diriku,
kusen dan kayu-kayu. Suara itu, daging menyeru batu.
Dalam diriku, Malin terkapar digempur nafsu.
Tahun: 2000
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:51)”
Arkeolog
Karya: Gus TF
masa lalu, engkau menggali — dalam diri,
mimpi tersembunyi. Mimpi? Kautahan gumpal,
gaung bawah sadar. Ia pilih: jalan memutar.
Mimpi. Ilusi. Engkau arkeolog, pikiran sendiri.
Menggali: Martil kapak pisau macam-macam besi.
kepedihan ini. Berkilat. Dinginnya dinginnya.
Tahun: 2000
Sumber:
“Daging Akar: Sajak-sajak 1996-2000” (2005:50)
Bukan Kematian Kumaksudkan
Karya: Iyut Fitra
Seribu tali gantungan pun tak akan menjemput matiku
kecuali engkau o, kekasihku yang jauh
yang merampas doa-doa, tasbih dan dzikir
hingga lengang demi lengang mencucuk seperti ratusan
serigala
mendendam kehilangan cahaya untuk cinta
aku pun berlayar
menyebrangi cuaca yang samara dengan dada yang keping
ada pukat, ada jala
dan aku seolah-olah ikan kecil terperangkap
menyeru sesuatu yang selalu kuyakini tetap satu
engkau, o engkau kekasihku!
Kuburan berulangkali hidup lepas dari genggaman
serupa maut genit mengintai
tetapi bukan kematian kumaksudkan, barangkali jahitan
yang tanggal, memberaikan impian-impian
menjadi gerbomg panjang luka-luka tercecer
sedangkan engkau jauh dan aku terlalu tua untuk berjalan
Pelayaranku, lihatlah
Angin menyihir ombak menjadi gelombang
menampar bibir waktu. Malam bergulung badai
beribu-ribu camar berkeliling melengkingkan terompet
“kayuh! kayuh!” seperti kegaiban terus bersuara
menghantam cuaca, membalik harapan
maka untuk cinta aku pun terus
karena seribu tali gantungan pu tak akan menjemput matiku
kecuali engkau o, kekasihku yang jauh!
Tahun, 2000
Di Depan Pintu
Karya: Ulfatin Ch.
1
Di depan pintu
segala ketuk menyatu
bulan membuka
malam
memanggil aku
2
Di depan pintu
yang ketika daunnya terbuka
selalu kutemukan jalan
matahari.
Suaranya gemerincing
bagai membuka sayap malam
di dalam mataku
Tahun, 2000
Negeri Cahaya
Karya: Cecep Syamsul Hari
Kepada lukisan Manannor
Pada sehelai kanvas
Duka menghentikan waktu
Malam selalu terangdan menunggu
Maut menarik batas
Namun langit jugalah yang kekal
Pohon-pohon tanpa nama
Warna pastel mengandung cahaya
Cinta menangguh ajalseorang gadis bergigi kawat
Menggenggam candu
Angin mengucap pusar yang dalam
Goresan kuas lebih runcing dari hujan
Garis melengkung, laut mengepung
Dan berikutnya nestapa tak berkesudahan
Kemana dia pergi?
Siapa yang menutup pintu?
Mengapa dari tubuh manusia yang dibakar
Tidak tumbuh bunga?
Di negeriku darah tidak harus merah
Dan tinju bisa lebih kekar dari batu
Matahari kadang-kadang berwarna hijau
Orang-orang berjalan tanpa kepala
Terkurung badai ganas
Dan teluk yang menganga
Di atas sampan oleng
Seekor singa menjadi pertapa
Berilah nama-pohon-pohon itu
Seperti kenangan dan senja
Bukankah ceri ungu
Lebih ranum dari payudara
Mengapa dia pergi
Mengapa kehilangan begitu sunyi
Karena langit mungkin kekal
Dia tak pernah kembali
Di sehelai kanvas
Kau hentikan waktu
Menjaga malam terang
Menimang negeri cahaya
Tahun, 2000
Mata Hujan
Karya: Ach. Abid Khoiron
Ada setetes air berjatuhan mengaetuki tanah dadamu
Di situ kita bermain kabut sambil memejamkan matahujan
Diam harapmu kembali merapatkan gerimis malam
Bahkan gemerciknya membatinkan dingi
Meski detak jantung rerumputan menggigilkan rerontok hujan
Tapi kita di sini gagal mencoba menajamkan runcing kesedihan
Tahun : 2001
Sumber : Horison Edisi III
Kau
Karya: Soni Farid Maulana
Memang di musim salju
Tak bunga kuncup walau sepucuk
Tapi didasar kalbuku kau setangkai angkuli
Mekar sudah
Malam hanya angin dingin
Mengetuk-ngetuk jendela kamarku
Menggigilkan pepeohonan
Tapi bara yang kau taruh dalam hatiku berkobar
Menjelma api, menghangatkan pikir dan rasa
Mencairkan gairah hidupku yang nyaris beku sepadat batu
Di lain waktu kau adalah arus
Mendenyutkan sungai yang dikerontangkan
Terik matahari.
Kau arah yang kutuju
Bebas dari kehancuran
Tahun : 2001
Sumber : Majalah Horizon
Kau, Laut, dan Kata
Karya: Moh. Wan Anwar
di geladak sudah tercium kata-kata
anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang
kausebut nhidup adalah perjudian dan entah siapa
entah dimana seseorang mengangguk
untuk yang tak terbaca
kau mengarungi lautan, dengan riang
menjemput yang akan datang. Kaukutuk masa silam
sambil merapikan rambut dan kenangan
kapal melaju, sunyi merambat jauh
ke palung-palung di batinmu
di dasar laut bisa saja takdir semacam gurita
kemana kau berlayar, ia akan mengantar
setia bersama waktu yang tak letih berkibar
di angkasa burung-burung terbakar
dibidik terik dan gerimis. Di lengkung langit
cakrawala menuju waktu, mengepungmu
sampai senja berakhir, sampai luka tak lagi ngalir
tetapi apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu
berkesiur di tengah bakau dan buih ombak
hingga memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
menantimu ketika telah lenyap segala kata
dan aku—tahukah kamu?—akulah gurita itu
senja
dan waktu yang kausebut sebagai kepulangan
Tahun: 2001
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:3)
Orang Berkaca Mata
Karya: Moh. Wan Anwar
orang berkaca mata itu memandangi
patahan kubah dan puing istana
dalam peta lusuh tulisan tangan
ia tersenyum, disenyuminya nelayan
dengan perahu yang hilang amis
berkata: “segala nikmat adalah keringat
dan berkah gerak lengan”
ketika banjir datang—orang-orang
panik—ia berada di menara, katanya
terikat untuk rakyat. Debam tanggul hancur
serak orang seperti sorak
tak terdengar olehnya
ia tersenyum, mengira
dermaga sibuk dengan lelangan
dalam peta lusuh tulisan tangan
seluruhnya tinggal kenangan
“hei, kau yang terikat di menara
berhentilah menjaring kata di angkasa!”
dan ketika orang berkaca mata itu kuyup
ditelan bah, baru tahu bahwa perahu
lebih berharga dari seribu rindu
kini ia, para nelayan, dan orang-orang
sibuk menjaring kata
mengusir malapetaka
Tahun: 2001
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:14)
Suatu Sabtu Udara Sepucat Lampu
Karya: Moh. Wan Anwar
di rangkasbitung, suatu sabtu
udara sepucat lampu
laron-laron menggigil
sebelum gerimis turun dari dukamu
—dulu di sana, di losmen pinggiran dunia kaya
dalam musim dingin dan anggur tandas
sampai nurani—pamong pengisah itu
menuangkan gelisah-gelisahnya
kata-kata dikuliti, tulang iga yang kurus
menyembul di samping golok
tapi seperti kini masih kausaksikan
rangkasbitung masihlah malam
isyarat gawat berkelebat di cakrawala
—si pengisah itu multatuli—adlah kau juga
gerah memandang gubuk kirai menjuntai
tempat saijah-adinda dulu tercerai
kau tulis sajak tentang ternak
emas dan padi yang lenyap sebelum gelap
mekar kota-kota utara dan timur laut
di bentangkan jarak yang menggoyangkan
tanggul sunyi air mata
—mungkin si gelisah itu termangu—seperti kau
dan aku, mengembarai hutan-hutan
yang disulap bagai mainan. Di rangkasbitung
suatu sabtu, udara sepucat suara kita
Tahun: 2001
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:26)
Dalam Deru Waktu
Karya: Moh. Wan Anwar
dalamderu waktu, dulu, air di ladangmu membasuh
luka usia. Bulir-bulir padi musim panen
sayur mayur, juga hatimu, merunduk ke hening tanah
pada mekar kata yang tumbuh di lenguh kerbau
dan larik pantun—ibadah yang membumbung
ke lelang gunung. Dulu di sini bunyi hujan
dan gerak cangkul bersahutan dengan detak jantung
zikir yang meningkahi kecapi—menerjemahkan sepi
dari balik jerami atau mimpimenjelang pagi
kini mengalir percakapan liar di luar secangkir kopi
sepi pun mengerang diantara gelepar pipit
dan gelegar diam dari traktor yang meradang
sejak itu siang tak lagi panjang, malam renta
diseret jadwal kerja. Di ladangmu tanah lalu
berkisah Kain dan Habil saat risau mengaum
di sungai kering. Sepi menepi, lengang menegang
membayangkan yang mungkin hilang
dalam deru waktu, di bentangan luka mata kata
tak ada lagi kecapi—kini sepi menyanyi sendiri
tertatih-tatih mengeja huruf-huruf di langit
yang menguap dari sumur air mata petani
Tahun: 2001
Sumber: Antologi Puisi “Sebelum Senja Selesai” (2002:8)
Angin Bulan Maret
Karya : Indra Tjahyadi
Dari dalam gelombang, jiwaku
yang tak berdaya melontarkan guntur.
Jalan-jalan iklim bersiul, mengukuhkan
pilu. Samadi kemiskinanku mencari-cari
rambut panjangmu. Di langit, kilat
meledak. Para pengemis memayungi
mataku dengan kabut. Darah-darah hitam
para pemabuk mencambukkan kilat-
padat: melebihi susumu.
Kanak-kanak tikus memancarkan
aroma sampah perunggu. Bangkai-bangkai
kusta malaikat membakar sejarah rumah
para penyamun. Kenanganku dibentuk
dari tahi-tahi perusuh, dongeng-dongeng
kelelahan laut mengingatkan kembali kesedihan
zaitun. Aku mencibir, tapi kau begitu cantik
dengan pipi berlesung taifun.
Angin bulan maret yang mengijingi
mimpi mendirikan candi-candi musim.
Labirin pohon-pohon kerdil digithik
gerhana, menyerupai sihir. Jurang sunyi
yang curam menyimpan makam tangis petir.
Barangkali memang telah selesai urusanku
dengan hidup! Betapa tubuh mungilmu masih
saja kurindukan sepanjang kelu. Seluruh nostalgia
kini karam-hijau-pipih. Burung-burung camar
binasa di ujung pantai, membisikkan nasib.
Kau tatap mayatku sekali lagi. Kesialan begitu
jernih menamaiku dengan sepi.
Tahun: 2002-2004
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX (2005:25)
Dermaga Rindu
Karya : Moh. Hamzah Arsa
alangkah ramah pohon-pohon
trembesi
mengusap galauku kala matahari
yang kutunggu di ubun waktu
hanyalah sunyi orkesta piano masalalu
kupetik langit-langit kesadaranku
dengan jemari gerimis saat kuketuk
pintu masa silam anak-anak
langit biru lautpun biru
amboi, kapal-kapal zaman dulu
kau tambatkan di hati pelangi
kini melayarkan selaksa naluri
ke dermaga rindu.
Tahun: 2002
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX (2005:13)
Rumah Kenangan
Karya: Nenden Lilis
Seorang tanpa rumah tak bisa pulang kemana-mana
Kecuali pada kenangan di pohon jambu klutuk
Pada ibu bapak lentak yang terpekur di kamar berdebuLemari
kusam itu masih dirasa miliknya
Meski lubang kuncinya macet, pintunya tak bisa
Menutup, cerminya memantulkan bayangan lonjongBekas tanah
dicangkul dan baju berlumpur yang
Menggantung dibalik dapur jugaSeperti sisa hatinya
Meski selalu ada yang terasa tumbuh
Seperti pohon apel dipohon belakang
Daunnya rangkas dimakan ulat
Atau pohon delima, buahnya belah sebelum masak
Tapi seorang tanpa rumah ingin tinggal
Meski tak tahu, masih adakah yang rindu,Masihkah ada yang
menunggu?
Ia hanya tahu
Hidup sesungguhnya sendiri
Tahun : 2002
Sumber : Majalah Horizon
Antara Kantor Berita dan Warna
Karya: Jimmy Maruli Alfian
Ketika matahari jatuh pada lantai galih
Ayah mengganti televisi berwarna dengan hitam putih
Agar segara ihwal dapat diterima dengan jernihKalau tidak
hitam , ya putihSambil menjelma hilter ayah berdalih
Tetapi,
Aku tak mau kehilangan rupa warnaIdeology bagaimana, toko
kosmetik dengan senyum dara
Berbuir-buir padi beranjak dewasa
Adalah komposisi sejati
Tempat aku bisa luput dari aroma ketiak perempuan
sendiriMeski akhirnya warna Cuma memudar
Karena darah pada tubuh memar dan beberapa kelopak mawar
Dilayar televisi terasa tawar
Tahun: 2002
Sumber : Majalah Horison (2003:9)
Menanti Ledakan
Karya:Ismet N.M. Haris
Kau pergi, dan burung-burung pun
Berhamburan di dadaku. Mengaji gelisah hari
Mencari daerah persembunyian paling sepi
Daun-daun gugur, gugusan bintang menyisih dalam
Hutan pikiran, dan ribuan anak panah melesat
Menembus semak kerinduan, lalu kau pun tau
Di antara perselingkuhan angin merangkum kelam
Aroma ajal menjalar bukit keterasingan
Langit jadi kian gemetar mengucurkan daerah bulan
Dan seekor katak melompat di lubuk hatiku
Yang jauh. Seperti birahi terjaga disergap badai
Dan hujan deras kenangan.
Kubiarkan pohon harapan tumbang
Bersama detik-detik yang berjatuhan. Tangis bayi
Bersekutu dengan udara dingin, menampakkan
Tabiatnya menyebut nama-nama yang telah kulupa
Seekor kumbang tiba-tiba berdengung di kepala
Tetapi aku luput menyambutmu dengan tarian yang
Memabukkan. Bahkan ikhtiar embun menetas
Gagal meresap tanah kesabaran, karena hembusan angin
Menghempaskannya ke lautan duka
Sedang di angkasa raya ratusan peri menarik untuk
Rasa kesia-siaanku berulang diguncang gempa
Tinggal sisa ciumanmu kekal membuatku bertahan
Menanti ledakan tak terduga
Tahun, 2002
Jejak Liang Penghabisanmu
(In Memoriam: Noor Aini Cahya
Khairani)
Karya: Eza Thabry Husano
ketukan misterius dinihari yang kaukirim di balik
pintu itu, itukah tatangar yang kaukirim di ujung tidurku?
ketika sungai masih berkabut, kaukayuh perahu beratus puisi
di antara ricik riak, pohonan rambai dan jemari yang lungai
inilah puisi yang sampai ke jejak liang penghabisanku,
bisikmu lirih
orang-orang tersihir keharuan bertabur dzikir airmata
o sahabatku, berlayarlah jauh, lupakan keluh-kesah semesta
dan debu-debu lelatu yang terbakar
semua dilayarkan takdir dari sarang seperti burung-burung
panggilan nasib yang hilang
pohonan yang merapuh, daun-daun yang menyerpih, terlepas
dari tangkai ranting-ranting
tidurlah sepanjang sunyi, semoga helaian puisi-puisimu
menjelma butiran tasbih dan kupu-kupu dalam liangmu
raung sirine itu mengantar tubuhmu ke depan pintu!
catatan biografi terlipat rapi dalam cahaya yang ngilu
orang-orang menundukkan kepala di bawah rimbun matahari
sambil menulis sejarah burung-burung berkasidah pilu
mengaransemen lagu kematian di liang dingin itu
kautinggalkan ajalmu, memandang keindahan nafas-nafas
yang menggema, kemudian senyap dalam lelap
Tahun: 2003
Sumber: Majalah Horison Edisi III (2007:10)
Untuk Apa Kau Datangi Ke sini
Karya: Hamidin
Kulit bumi mengelupas
Larut dalam keheningan air matamu
Embun berbondong-bondong mengiris
Kesunyian cagak langitAku menyusup di keremanga
Kabut itu mencari troroar
Di lading-lading rindu
Api memuntahkan kata-kata
Tiap hurufnya adalah cuaca
Dan serbuk musim menjelma
Putik-putik nasib di kantong-kantong senja³ untuk apa kau
datang kesini´katamu
Tahun : 2003
Sumber : Majalah Horizon
Pertemuan dalam Mimpi
Sewaktu aku kangen padamu
Karya : Fahd Djibran
Di halaman rumah. Aku dan kamu selalu saling membisu. Hijau
seakan
warna isi hatimu itu adalah rumput di jiwaku. Aku hanya
duduk
menatapmu, begitu juga dirimu. Entah kau tak kangen padaku?
Tak apalah.
Aku hanya kangen padamu. Ini penawar rinduku. Ya, sebuah
pertemuan
tanpa percakapan. Dan sekejap
Senyummu tertawan malu. Aku tersipu tak mampu. Apakah ada
bahasa
selain bicara? Mungkin lewat mata, lewat telinga, atau
isyarat jiwa. Aku
tak temukan dari semua itu. Yang kutemukan adalah, seperti
tadi, kebisuan
perasaan
Apabila ini menjadi kebiasaan dari pertemuan. Aku dan kamu
akan
menjadi cerita bodoh. Ingatlah waktu akan mengajari kita,
bahwa tak ada
kesempatan setelah suatu impian kau lewatkan. Ini bagian
dari mimpi
belum menuju inti. Apa bisu ini adalah mimpi yang mati?
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison [Kakilangit 106 (2005:20)]
Pelajaran Mencinta
Karya : Fahd Djibran
Aku telah banyak menanam cinta. Tetap saja waktu memaksa
kita agar
menanam cinta lagi. Selagi kita bisa. Maka cinta akan
berbunga di mana
dan kapan saja. Ambilah sesuka hati. Maka kau akan merasa
puas,
meski cinta tidak terbalas
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison [Kakilangit 106 (2005:20)]
Percintaan dengan Sungai
Untuk belajar mencintai seseorang
Karya : Faisal
Ia mengingatkan aku, pada seorang perempuan. Ia dingin.
Selalu seperti apa
adanya. Aku tak pernah bisa mengajaknya jalan mencari
mesranya senja.
Menunda masa muda agar tak hilang masa depan dalam kenangan.
Sebab,
suatu saat kita harus punya harapan. Kita berkisah-kisah
layaknya alam
Daun bercinta pada tanah lewat berguguran. Angin dan rumput
selalu menari
dan bernyanyi. Awan dan pelangi membuat jembatan antara
jalan. Juga kita,
kau dan aku berkasih dalam diam. Diam seakan memang nasib
kita
memahami isi hati. Pertama bertemu di unsur rindu, aku sudah
menganggap
kau adalah kekasihku. Tak tahulah, kau pun masih diam dan
diam. Tenang,
seakan aku mencintai sebuah angin. Sungai yang mengalir
membawa
bening jiwa seseorang. Yang akan terus menjadi pujaan
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX [Kakilangit 106
(2005:21)]
Tasawuf III
Karya : Sofyan RH. Zaid
Sungai terpanjang setelah Nil
Adalah rinduku ....
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX (2005:26)
Metamorfosa
Karya : Adri Sandra
jangan kau dirikan lagi rumah dalam diriku, sebab suatu kali
ia akan terbakar
seperti waktu-waktu yang lewat, tumpukan abu menyelimuti
paru-paru dan limpaku
daging, tulang dan darahku menghitam, asap dalam diriku menjadi
gumpal-gumpal awan,
membeku di kepalaku
hingga aku tak bisa berpikir apa yang telah aku lalui, tak
bisa melihat kedatangan tahun
dan ikhwal perjalanan
hanyalah sebuah gunung menjadi rajawali, suatu keindahan
yang kunikmati akan
membunuhku
hari ini kupancing udara dari musim yang basah
aku ingin berumah di daun-daun kering, menjauhlah engkau dan
jangan engkau lagukan
semangat tentang hidup yang lapuk
sosokku akan telanjang menjadi ulat yang lemah, kulitku akan
memberi napas ketika aku jadi kepompong
sebuah dunia milik manusia akan jadi singa, memakan
keterpencilan yang mentah
kalau kau mau bikinkan aku taman bunga
sebuah peristiwa pantas kau lagukan untuk dunia baru
ketika diriku jadi kupu-kupu.
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX (2005:29)
Sesobek Kepastian
Karya : Windi Riyani
Kududuk di tepi rumah
Seakan angin membelai-belai wajahku
Aku menanti dan terus berharap
Agar malam yang kelam membawa sang bintang
Hadir di hadapanku
Sore itu pun menyapa diriku
Di kala sesobek harapan
Menghampiriku dengan sejuta senyuman
Yang tak bisa dilupakan
Karena saat itu bintangku
Benar-benar nyata dan ada
Dan kini berubah menjadi
Sang rembulan yang menghiasi
Kisah di malamku yang kelam
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX [Kakilangit 106
(2005:25)]
Surga Mimpi
Karya : Ukha Julaika
Malam kelam memburam dalam wajah suram
Saat hantu-hantu kegelisahan membawaku
Ke arah wajah riakan ombak
Batu karang mengarang
Membisik angin bercumbu dengan liukan putri duyung
Berlayar bayar getar
Sehempas kata yang membawaku terbang lintasi
Pusaran gemintang…
Langit sunyi menjadi selimut mimpiku
Di atas gelombang hijau kasur berhibur
Dan gemawan jadikan bantal keagungan
Kini… kuhirup warna indah pelangi
Dalam sudut aortaku
Kuingin gapai gemericik sungai
Yang mengalir dalam surga mimpiku…
Tahun: 2004
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX [Kakilangit 106
(2005:15)]
Tafsir Jejak Kita
Karya: Eza Thabry Husano
saat kutoreh sungaimu, kau tangkap kayuhku
sambil menolehkan luka nenek-moyangmu
dalam bahana perjalanan yang kesekian rintihan
hingga aku mabuk dalam mencari tambatan
lalu kujarah kasih-sayang di sekujur cahaya langit
di antara lekukan bukit yang kubangkit
dari segenggam tanah dan kesunyian
kita pun tenggelam: di pelabuhan penghabisan³Kau dirus kuang
lukaku,´ jeritmu berulang kali
menyeberangkan nasib di bantingan matahari
sepertiperahu mencari tambatan muara
seperti percik embun membasuh kelopak bunga³begitulah tafsir
jejak kita!´ seru nasib manusia: berbagi airmata
Tahun : 2005
Sumber : Horison Edisi III (2007:11)
Pada Hari Tak Bernama
Karya : Adri Sandra
Telah kau berlayar di tengah padang
mencium jari-jari kiamat
guruh yang tengadah di puncak musim dan
cuaca
tercium badai yang tertambat di ujung
lembah setiap benua
Mungkin dalam pelayaran itu kau
tenggelam dan tak dapat memandag sesuatu
karena semuanya terperangkap dan semua
orang membangun tubuh kiamat itu dengan mata tertutup
tangan-tangan mereka berusaha
memindahkan matahari terbit dari barat
dan kau merasakan pelayaran telah salah
arah
ketika kehidupan dikunci kematian
inilah pemandangan yang mungkin tak kau
percaya, ada dan amat nyata di hari yang tak diketahui namanya
seluruhnya menggeliat, dalam tiupan
sangkakala
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX
(2005:30)
Senandung Penantian
Karya: Ahmad Al Matin EM
Sungai kataku kering
Ketika huruf-huruf runcing
Membelah tubuh jagungku
Yang dipupuk waktu
Entah kenapa
Tiba-tiba musim dingin berdiri di sampingku
Menggigilkan tubuh
Saat beribu titik
Masuk ke mata
Aku masih di sini
Menanti datangnya risalah
Untuk menyelam dalam tubuh
Laut warna tanpak putih
Dan kudendangkan
Gemercik air tanpa angin
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi IV [Kakilangit 124 (2007:22)
Mahadewi
Karya: Henry Dwi Prasojo
Kurasakan resapan dalam tubuhnya
Merasuk ke dalam aliran darahku
Kala cinta berpaling dariku
Andai saja aku bisa mengulang waktu
Kesalahanku akan kuperbaiki
Mahadewi, tolonglah aku
Yang sedang merindukan hangatnya belaianmu
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi IV [Kakilangit 124 (2007:15)]
I’tikaf
Karya: K.S. Jella WR
Malam-malamu kulukis dengan puisi
kugaris jendela kamarmu
dengan kalimat-kalimatmu yang berdenyut
hentakan gerimis pun tersungkur
Kita baru saling kenal sore itu
di jembatan usiamu yang menjalar menjadi serabut kekekalan
Kauteteskan doaku, aminku pun kau bengkakkan dari
serpihan-serpihan keringatmu jadi sebait sajak
“Sudah, sudah,“ kita masih lupa, berapa kali kita menghitung
bintang
“Kuncup, kuncup,” jangan kau lupakan sebatang ceri di kebun
puisimu
O, senyummu yang menyingsing bersama labirin yang berakasia
Kini lebur dan bercadas pada batu yang kau jadikan
perumpamaan
“Mari, mari,” kupegang tanganmu agar sesekali kulihat
kau menangis di
pangkuanku
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi IV [Kakilangit 124 (2007:20)]
Matahari Terkokang
Karya : Muhammad Aris
dan angin yang muncul dari tubuh
daun mengalir di segenap sumur; dadaku
berdebam seperti teriak
jeritan puisi di tengah api
malam dengan serak mimpi dari geriap
duri
akupun lahir lagi
merangkul sirip cangkul
ledakan tanah-tanah batu, membujur
sekujur pori-pori, nafasku
bersap dan panas lukai hari
juga amsal retak keringat
tak henti ancam sekarat
waktu menghijau
dan aku tayammum dalam gamang lumpur
kembali membaca lelah gerimis
di selat-selat lumut dan sungai yang hanyut
raib seperti getar mendengar aksara
berderap, mencabuk ribuan petir
datang dengan matahari terkokang
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi XXXIX (2005:23)
Acehku Aceh, Acehku di Mana-mana
Karya: Thomas Budi Santoso
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
saat cahaya matahari menepis kebutaan
tiang air jatuh menghantam kota
perang telah hilang di medan pertempuran
karena hari-hari telah runtuh
dan tiap rumah tersentuh tragedi
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
laut mengalir menyatakan kisah
jaman dimana perisai manusia jatuh
dalam kota yang kehilangan udara
bintangnya pucat, gemetar seperti daun
di titik nadir perburuan manusia
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
koran berbinar-binar
tayangan percakapan warasandi pun berbinar
tentang bendera lusuh setengah tiang
meratapi saudaraku terserak di sana
tentang cinta yang tertanam seperti batu abadi
dan ketakutan yang hidup mengalaminya
tentang tugas kehidupan pos bantuan kemanusiaan
yang bobotnya bisa dimanuskripkan
juga siratan filosofis tentang kodrat
bahwa hal terbaik dunia adalah kesalahan
bergerak bagai pendulum, pulang pergi
antara tuhan murka meretas bumi
atau laut berkhianat saat tuhan bermimpi
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
bantuan datang, bantuan datang
bantuan datang dari mana-mana
bantuan datang, bantuan datang
bantuan sudah datang di sana
bantuan datang, bantuan datang
bantuan datang dari penjuru dunia
bantuan datang, bantuan datang
bantuan tak tahu di mana
bantuan datang, bantuan datang
bantuan datang dari persimpangan jalan
bantuan datang, bantuan datang
bantuan akan dibawa ke mana
bantuan datang, bantuan datang
bantuan tak jua-jua datang
bantuan datang, bantuan datang
senyap, tak perlu ditanya
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
aku tertawa agar tidak menangis
dan menyamarkan mataku melihat keburukan
kudekap mulutku, menulis:
di aceh
ada semut makan telur
semutnya tak segede semut jawa
konon memang semut dari jawa
yang nyeberang lewat kabel telpon
dan beranak-pinak di sana
sedikit mengkeret terkena radiasi
mudah lapar dan keras kepalanya
kulit telurpun lumer di rahangnya
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
koran berpendar-pendar
tayangan percakapan warasandi hebat berpendar
tentang mahluk manusia suka rela
tentang pencarian anak balita
dalam kontroversi asas praduga
dan tuntutan yang lebih banyak dari waktunya
menghembuskan bau jengkol
yang menyengat syaraf manusia dewasa
mengungguli gemuruh laut
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
seperti sebuah aksioma
bintang kejora tak mau tenggelam
bagi siapa yang bekerja
untuk persamaan dan perdamaian
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
hidup adalah kehilanggan
jika tidak itu adalah penipuan
karena tak lagi dapat bermain
dan tangis tertindih kediaman
sebab matahari menghisap airmatanya
hidup telah selesai
kalaupun tidak menapak ke belakang
karena ke depan hanya hamparan nisbi
dan mati menjadi sebuah seni
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
orang tersesat tak pernah bisa memimpin
hanya membuat kemiskinan membumi
tetapi kekuasaan dan kekayaan
mengambang antara langit dan bumi
terbebas akarnya, tak pernah menyentuh langit
tetapi kemiskinan adalah nyata
dalam dingin dan air mata
yang menyimpan rahasia semesta
yang menyimpan kekuatan tuhan
karena tuhan berpihak kepadanya
dan baginya
kematian bukan apa-apa
hanya sebuah kepergian
yang tak kembali
kematian tak menakutkan lagi
hanya hari esok yang ditakuti
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
tak lagi banyak gunanya
menyelamatkan diri dari kematian
karena semua orang menuju ke sana
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
perang tak untuk dimenangkan
hanya untuk dilanjutkan
dan setiap pembunuhan
telah membunuh bagian diriku
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
hanya dengan sajak
dunia bersinar dalam kertas
tentang sebuah kekalahan
dan berlari adalah cara hidup yang berat
karena tek semua dapat berhenti
mengawalinya dengan sebuah harapan
lewat sajak
tak semua mata menangkap cahayanya
karena kegalapan memasang jeratnya
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
tak ada yang bisa menganti derita dan kehilanganmu
tetapi bintang sejati tak akan tampil kemilau
sebelum banyak mata melihatnya
acehku aceh
acehku aceh
acehku di mana-mana
tak lagi penting bagiku: namamu
selama aku bisa memanggilmu: milikku.
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi IV (2007:5)
Keraguanku
Karya: Aisyah Lu’lu’ul Husna
Kalbuku merangkai namamu
Indah, terpatri dalam relung jiwaku
Tentangmu
Tentangnya
Tentang dia
Bergejolak dalam alunan nafasku
Tersusun dalam kata,
Terucap dalam kalimat: raguku akan
cintaku
Ke mana ‘kan kulabuhkan ujung pencarian
ini?
Bintang, bulan, sambut dan jawab tanyaku
Kenapa kalian diam?
Tidakkah kalian mendengar ragu yang
Tak berujung kepastian
Dan pilihanku adalah keraguanku
Tahun: 2005
Sumber: Majalah Horison Edisi III
[Kakilangit 123 (2007:14)]
Kupu-Kupu
Karya: Toto St Radik
Dulu aku suka sekali menunggu kupu-kupu
masuk kedalam rumah dan mengejarnyaJangan kau ganggu, kata ibuku, itu pertanda
bakalan tiba tamu
Kata-katanya begituh pasti begitu sakti
Seekor kupu-kupu lalu ketukan didaun
pintu
Kini setiap malam rumahku di penuhi
kupu-kupu
Beterbangan dan bertumpukan
Dilantai berserakan sayap-sayap halus
yang berpatahan
Namun tak seorangpun tamu
Ribuan kupu-kupu bersarang dirumahku
Dan aku menjelma menjadi tamu
Mengetuk pintu yang tak pernah terbuka
Tahun : 2005
Sumber : Majalah Horizon
No comments:
Post a Comment