Tangan Ibuku
Pagi ini berembun. Rintik-tintik, sisa hujan semalam. Aku termenung
di depan jendela kaca rumahku. Menempelkan wajah yang penuh dengan bulir-bulir
air mata sisa tangis semalam, menangisi keberangkatanku esok lusa ke kota untuk
meneruskan pendidikanku. Suara kokok ayam mulai terdengar membangunkan warga kampung,
terlihat ibu-ibu paruh baya berlalulalang membawa cerangka dipundak, kepala
dengan topi ilalang, memakai sepatu bot setinggi lutut, dan dengan memasang
wajah yang masih terlihat kantuk. Di belokan gang terlihat segerombolan
anak-anak berseragam merah putih tertawa cekikikan memegang uang seribuan, saling
menggoda temannya, aku terhanyut ikut terbawa suasana menertawakan mereka.
Dede berseru memanggilku, menyuruhku untuk segera sarapan. Aku pun
seketika beranjak dari kamar menghampiri Bu Rana, Ayah, dan Dede yang tengah
menungguku duduk beralaskan tikar di dapur kumuh itu. Ibu Rana menyuruhku untuk
duduk bersama mereka, sarapan dengan seadanya. Aku hanya mendengus tak
berselera, tak biasanya Bu Rana hanya menyediakan sarapan pagi untukku ala
kadarnya seperti itu. Dengan muka sebal aku pergi ke ruangan depan menahan rasa
lapar. Mana ada seorang calon sarjana
sarapan pagi hanya dengan secangkir teh dan pisang goreng?
Beberapa menit kemudian Ibu Rana menghampiriku, membujukku untuk
segera sarapan bersama mereka. Aku memang sangat lapar, tapi di dapur sana tak
ada makanan yang layak makan untuk seorang calon sarjana sepertiku. Sehingga
aku hanya diam tak memperdulikan bujukkannya. Bu Rana pun kembali ke dapur
kumuh itu dan meneruskan sarapannya dengan Ayah dan Dede.
Satu
jam berlalu, Ayah berangkat untuk berkeliling kampung. Berkata lirih semoga ada
yang membutuhkan banyak jasa kepadanya, semoga banyak sepatu yang sudah mulai
rusak. Ayah hanya seorang tukang sol sepatu tapi Ayah mempunyai wajah yang
sangat menyenangkan, sehingga banyak orang-orang yang selalu membutuhkan jasa
Ayah meski sepatu mereka belum layak untuk diperbaiki. Ayah, melangkahkan kakinya,
menapaki sepanjang jalan yang tiada berujung. Keringat yang bercucuran dia usap
dengan tangan surganya. Sedangkan Bu Rana tengah sibuk membereskan rumah dengan
keringat yang bercuruan dari dahinya. Sesekali dia menghela napas, mungkin capek.
Dede sekarang duduk denganku, memperhatikanku yang dari tadi memegang perut.
Menatapku diam-diam, berkata pelan, “Kakak lapar? Mau Dede belikan roti? Dede
punya uang dua ribu sisa jajan Dede kemarin, mungkin cukup untuk membeli roti”.
Aku terkesima dengan tawaran Dede barusan, menatap tajam muka Dede
yang terlihat bgitu tegang. Tak kuduga, Dede yang berumur 12 tahun menawarkan
kepadaku yang lima tahun lebih tua darinya. Aku mengibaskan rambutku,
menggelengkan kepalaku, berkata dingin, “Simpan saja uangmu, aku tak mau makan
uang dari orang yang sedang kesusahan!”
Aku pun menjauh dari tempat duduk Dede, Bu Rana hanya sibuk
menyapukan ruangan dapur yang kumuh itu. Aku harap Bu Rana tak mendengarkan
perkataanku tadi kepada Dede. Dede pergi ke dapur kumuh itu. Bagus pikirku,
mendengus dalam hati, tidak akan ada lagi
yang memperhatikanku dan mendengarkan suara dari perut laparku.
Tak kusangka, tiba-tiba Dede mengambilkan secangkir teh yang mulai
dingin itu dan satu pisang goreng.
“Kalau Kakak tidak mau Dede belikan roti, Kakak mau kan makan pisang
goreng buatan Ibu?” Dede menyimpannya di dekatku. Kemudian buru-buru kembali ke
dapur kumuh itu, memeluk Bu Rana yang sedang sibuk membereskan dapur kumuh itu.
Tersenyum tipis atas perlakuan Dede. Percuma, seberapa keras dia membereskan
dapur kumuh itu tetap saja terlihat kumuh.
Aku hanya melihat teh dan pisang goreng yang tidak memberiku selera
sedikitpun itu, hanya melihatnya.
Sang raja siang pun mulai memancarkan sinarnya, lihatlah dia tidak
pernah memilih harus menyinari yang mana, dia menyinari semua yang ada di bumi
tanpa memperdulikan siapa dan apa yang akan dia sinari. Semoga sinarnya membawa
berkah padaku hari ini. Aku pun kembali ke kamar, memasukan beberapa baju yang
aku anggap masih layak pakai untuk calon sarjana sepertiku ke dalam kardus yang
sudah disiapkan Bu Rana sejak kemarin. Sebelumnya Bu Rana menyiapkan kardus
yang sudah terlihat menjijikan, kemudian aku merengek meminta kardus yang lebih
bagus. Seharian Bu Rana mencarikan kardus permintaanku itu, dan akhirnya dia
pulang membawa kardus yang tidak terlalu menjijikan dibandingkan kardus
sebelumnya. Tapi ada yang aneh, Bu Rana berangkat pagi-pagi dan pulang sore
hari hanya untuk mencari kardus. Entah apa yang Bu Rana lakukan seharian itu,
aku hampir sebal menunggunya kembali membawa kardus permintaanku.
Bajuku terlipat rapih dalam kardus itu, hanya satu yang belum ku
lipat. Baju yang akan ku pakai besok, dan belum sempat kucuci. Tapi sekarang
aku enggan mencuci baju, mana ada seorang
calon sarjana sepertiku mencuci baju disungai yang berair coklat itu!
Aku pun meminta Bu Rana untuk mencucikan bajuku itu, dan Bu Rana
spontan menyetujuinya, bersedia. “Iya, biar Ibu cucikan bajumu nak!”
Dengan lembut Bu Rana menyetujuinya, bibirnya pun tersenyum bahagia
sambil mengelus rambutku dengan penuh kasih namun aku mengibaskan tangannya,
“Aku kan sudah besar, jangan memperlakukan aku seperti Dede!” sambil menatap
tajam Dede yang dari tadi memperhatikanku dan Bu Rana, sembunyi di balik tirai
putih itu. Warna putih memang warna favoritku sejak dulu, sejak kumengenal
kasih sayang Ibu yang melahirkanku. Aku sangat merindukan masa-masa dulu,
masa-masa saat aku masih tidur dengan
Ibu kandungku dan Bapak. Kasih sayangnya begitu tulus, seperti warna putih tak
ada noda atau beban untuk menyayangiku.
Detik-detik menuju hari keberangkatanku tinggal beberapa jam lagi.
Aku tak sabar menanti hari esok, hari di mana aku akan mengenal dunia, dunia
yang akan membuatku menjadi sosok yang dibanggakan dunia. Tak ada lagi dapur
kumuh, tak ada lagi kampung yang begitu menghawatirkan, tak ada lagi kamar
pengap, dan… dan… dan tak ada lagi ocehan Dede, tak ada lagi perangai Bu Rana
dan Ayah yang selalu membuatku merasa bersalah, tak ada lagi.
Malam ini aku harus tidur dengan pulas, berharap hari esok berjalan
sesuai dengan rencana. Namun entah mengapa malam ini mataku susah untuk
kupejamkan, ketika mata ini terpejam tapi kutertidur tanpa lelap. Aku beranjak
dari tempat tidurku, melihat langit yang begitu indah dengan kerlap-kerlip
bintang dibalik jendela. Tak ada suara, hanya sepi, senyap.
Keesokan paginya aku bangun terlalu siang, semalaman aku tak bisa
tidur. Hari ini rumahku sedikit terlihat bersih, inilah kali terakhir aku untuk
melihat rumah ini, rumah yang selalu membuatku merasakan kejenuhan, yang telah
memberikanku kenangan pahit, memberikanku merasakan kehilangan, yang selalu
membuatku merasa bersalah, bersalah tak mampu menghapus keringat Bu Rana dan
Bapak. Aku begitu menikmati pandanganku ke setiap sudut ruangan, tersenyum
tipis mendengus dalam hati “memprihatinkan!”. Tiba-tiba Dede menyadarkanku
dalam lamunan, memberikanku handuk. Mungkin maksudnya menyuruhku untuk segera
mandi. Aku pun bergegas ke kamar mandi melewati dapur kumuh itu, terlihat
sangat menjijikan. Namun aku sangat menikmati pandangan ini, benar-benar sangat
menikmatinya.
Setelah selesai, aku pun buru-buru mencari baju yang akan kupakai
ke kota. Sungguh sangat meyebalkan baju itu tidak ada dilemari. Akupun
berteriak memanggil Bu Rana yang dari tadi tidak menampakkan batang hidungnya.
“Bu Rana, Ibu… baju yang akan kupakai ke kota mana? Sudah Ibu
cucikan? Sudah keringkan? Bu, Ibu…”
Aku berteriak terus menerus tapi tak ada jawaban sama sekali. Aku
pun berlarian ke kamarnya tapi tidak ada, di kamar Dede pun sama. Ayah dari
tadi pagi sudah sibuk pergi meminjam mobil tetangga untuk mengantarku ke kota.
Setelah dua jam berdiam diri tiba-tiba Ibu dan Dede pun datang. Aku pun langsung
marah dan berteriak pada Bu Rana di depan pintu.
“Bu, Bu Rana kemana? Tidakkah Bu Rana tahu? Aku mencarimu, oh
bukan-bukan.. aku mencari baju yang akan kupakai sekarang ke kota! Mana
bajunya?” aku merengek berteriak menyalahkan Ibu.
“Ya ampun nak, Ibu lupa mencuci bajumu sayang..” dengan muka penuh
penyesalan Ibu lembut mengatakanya.
“Bagaimana bisa Bu Rana lupa? Apakah Bu Rana sengaja membiarkan aku
seorang calon sarjana memakai baju tidak layak pakai lalu ditertawakan oleh
semua orang di kota?” nada bicaraku semakin tinggi, aku tak bisa menahan
emosiku.
“Pakailah dulu baju yang ada nak, masih ada kan? Maafkan Ibu
sayang!” Bu Rana mengelus rambutku dengan tangan gemetar.
“Ibu benar-benar tega, Ibu sengaja ingin membuatku malu. Aku benci
Ibu, sungguh AKU BENCI TANGAN IBU!” aku
mengibaskan tangannya yang tengah mengelus rambutku dengan tulusnya. Pergi ke
kamar, menangis dan mengobrak-abrik pakaian di lemari dan di kardus yang telah
tersusun rapi.
“Bunga, maafkan Ibu nak.. maafkan Ibu!” Bu Rana menangis di depan kamarku.
Dan hari ini aku gagal untuk berangkat ke kota, semua
harapan-harapanku pudar. Seharian aku mengunci diri di kamar, Bu Rana berulang
kali mengetuk pintu membujukku untuk keluar, berulang kali meminta maaf atas
tangannya yang tak berguna. Bu Rana cemas dengan perangaiku ini, “Bunga, ayok
buka pintunya jangan buat Ibu cemas nak. Ibu belikan lagi baju baru untukmu,
ayok keluarlah sayang”. Terdengar suaranya tersedan menahan tangis. Aku hanya
diam, menutup telinga dengan bantal di sudut ruangan.
“Bunga, tidakkah kau tahu? Ibu begitu menyesal sayang.. Maafkan
tangan Ibu yang tak berguna ini, selalu membuat Bunga merasakan kepahitan
hidup, membuat Bunga selalu sebal, membuat Bunga menjadi malu, membuat Bunga
membenci Ayah dan Dede. Ibu tahu sayang, Ibu tak mungkin bisa menggantikan Ibu
yang melahirkanmu. Ibu tidak pernah sedikit pun berniat untuk merebut perhatian
Ayah dan Dede dari kamu sayang. Maafkan tangan Ibu yang tak selembut tangan Ibu
yang melahirkanmu. Jika Bunga memang membenci tangan Ibu, silahkan Bunga bisa
pukul tangan Ibu, Ibu selalu merasa sedih ketika Bunga selalu mengibaskan
tangan Ibu ketika mengelus rambut indahmu. Tangan Ibu memang tak seindah tangan
Ibu yang melahirkanmu, tapi Ibu tulus sayang Bunga, Dede, juga Ayah. Bahkan Ibu
begitu menghargai dan menyayangi Ibu yang melahirkanmu sayang” suaranya begitu
terdengar semakin pelan, terdengar nada suara terisak.
Aku pun sudah tak mampu menahan tangis, menahan air mata jatuh membentuk sungai di pipiku. Ini kali pertama
aku menangis lagi setelah sembilan tahun kepergian Ibu, Ibu yang melahirkanku,
senyumnya yang selalu terlihat menyenangkan. Bahkan dapur kumuh yang selama ini
terasa menjijikan selalu nampak indah ketika masih ada Ibu. Tak ada yang mampu
menggantikan posisinya, tangannya yang begitu lembut dan tulus menjagaku,
menjagaku dari pahitnya kehidupan, tangan yang selalu memberikan janji
kehidupan yang lebih baik. Aku rindu tangan Ibu, benar-benar merindu.
Aku semakin berkeras hati tidak akan pernah membukakan pintu meski
hati kecilku ingin sekali memeluk Bu Rana meski pelukan itu tak sama seperti
aku memeluk Ibu yang melahirkanku.
Aku pun terlelap tidur, setelah terbangun ternyata sudah malam.
Kulihat jam di dinding ternyata sudah pukul 07.00 wib, diluar sepi sekali.
Kemana Bapak? Seharian aku tak melihatnya tak mendengar suaranya, Bapak pasti
sudah mengetahui kejadian ini darinya. Bu Rana? Dia pasti sedang menenangkan
dirinya, sedangkan Dede? Pasti lagi asik bermain menghitung bintang, itu memang
kebiasaannya setiap malam semenjak Ibu yang melahirkan kami meninggalkan kami.
Malam ini sepi tiada berawan, membuat aku hilang terbalik
dikerinduan. Sendiri aku tiada berteman, menyandarkan asa pada bayangan.
Menengok yang kosong, mendengar yang tak bersuara. Aku terjebak dalam
kesunyian, aku terbelenggu dalam kerinduan. Ketika ku sendiri, dan membutuhkan
seorang hanya sang angin yang datang. Kenapa angin? Angin tak mampu menanyakan
arti wajah ini, dia tak mampu mendengarkan keluhku, dia juga tak mampu merajuk
ku tertawa. Aku terhanyut dalam diam, mungkin tanpa angin aku takkan bisa
hidup, hidup untuk melihat lukisan indah di bibirnya dan bola mata kecilnya.
Seketika tanpa kusadari, Dede tiba-tiba berada di balik jendela
kamarku. Dede terlalu pendek jadi yang terlihat hanya tangannya saja yang
melambai-lambai. Aku pun menghampirinya, membuka jendelanya. Mendekat penasaran
apa yang akan Dede lakukan.
“Apa yang kau bawa? Baju? Baju siapa?” aku menatap tajam padanya.
“Ini baju Dede, baru dibelikan seminggu yang lalu oleh Ibu. Dede belum
memakainya, kakak boleh memakainya. Ini ambil!” Mata Dede berputar-putar,
terlihat sangat lucu membuatku ingin tertawa. Dede memang selalu membuatku
tertawa dengan tingkahnya yang menggemaskan, meski beberapa kali selalu
membuatku kesal semenjak kehadiran Ibu baru kami. Bahkan Ayah selalu menggoda
Dede dengan gagasan bahwa Dede lebih
cantik dariku, dan Dede tersenyum bangga atas pujian yang diberikan Ayah.
“Tidak perlu, Kakak sudah tidak membutuhkan baju lagi” sebenarnya
bukan tidak perlu tapi mana mungkin bajunya muat untukku kan?
“Syukurlah, kalau begitu Dede tidak akan kehilangan baju yang akan
menjadi kesayangan Dede” Dede berkata pelan, mendongkak ke langit-langit. Bola
matanya bergerak ke sana ke mari, sedang menghitung bintang.
“Apa maksudmu?” aku bertanya heran atas perkataan Dede.
“Tangan Bu Rana Kak, sama sekali dengan tangan Ibu. Bu Rana rela
menahan rasa sakit di tangannya hanya untuk mengumpulkan uang untuk membelikan
Dede baju ini. Memang harganya tak seberapa, tapi untuk mendapatkan uang yang
tak besar itu Ibu rela mengangkut batu-bata dari jalan sana ke rumah sang
pemiliknya, beberapa kali batu itu melukai tangan Ibu, berdarah. Ibu kira Dede
tak melihatnya, padahal Dede sembunyi-sembunyi mengikuti Ibu dan sembunyi di
balik pepohonan memperhatikan Ibu, memperhatikan tangannya yang begitu kuat
meski begitu terasa sakit. Kalau tangan Dede yang terluka seperti itu mungkin
Dede akan menangis seharian, tapi Ibu tetap saja tersenyum meski Ibu tahu dia
melakukan semua ini bukan untuk anak kandungnya” Dede terisak menangis
menceritakan potongan cerita itu.
“Dede tahu Kakak bertingkah seperti ini bukan karena kehadiran Bu
Rana, karena Kakak terlalu takut, takut menerima kenyataan. Dede masih kecil
tak tahu apa-apa seperti yang selalu Kakak bilang, tapi Dede mampu mengerti dan
merasakannya Kak! Berulang kali Ibu selalu berkata lirih seusai shalatnya,
berkata mengadu bahwa Ibu menyayangi Ayah, Dede, dan juga Kak Bunga meski kita
bukan darah dagingnya.” Dede sekarang tak menghitung bintang lagi, tapi dia
memeluk baju yang akan menjadi baju kesayangannya itu.
Tanpa
kusadari Ayah ada disebelah Dede, entah dari kapan Ayah berada di sana yang
pasti aku merasa kaget atas kehadirannya. Kepala Ayah menunduk, lalu ia
mengusap wajahnya dengan sapu tangan. Mungkin Ayah lelah atau Ayah sedang rindu
Ibu. Terlihat keringat di dahinya, menemaninya setiap dia melangkah. Menandakan
bahwa Ayah menjagaku. Ayah tak pernah mengeluhkannya, hanya aku yang
mengeluhkan. Ayah tak pernah mencaci keringat, namun aku yang memberinya
keringat. Lihatlah Bola mata yang meneduhkan, lukisan senyum yang menguatkan,
bahu yang memberi sandaran, kasih sayang yang tak pernah berubah.
“Ayah ke mana saja?” aku bertanya penasaran pada Ayah, jelas-jelas
aku membutuhkan Ayah sejak kejadian tadi.
“Maafkan Ayah Bunga, Ayah tidak bisa menyewakan mobil untuk
mengantarkanmu ke kota. Uang yang dikumpulkan Bu Rana dan juga Ayah tidak
cukup” Ayah mengeluhkan kegagalannya.
“Uang Dede juga, Ayah!” Dede protes, namanya tidak disebut dalam
daftar menyumbang menyewa mobil untukku.
“Tidak mengapa, sudah tidak penting lagi Ayah”
Aku menatap wajahnya, wajah yang selalu terlihat menyenangkan itu malam
ini terlihat begitu menyedihkan.
“ Ayah kenapa?” aku bertanya pelan padanya yang sedang mengelus
rambut Dede.
“Ayah sedang menghitung bintang seperti apa yang selalu Dede
lakukan setiap malam kala rindu Ibu. Bunga, tahukah kau mengapa Ibu memberimu
nama ‘Bunga’? Itu karena Ibu menyukai bunga mawar. Menurutnya bunga mawar itu
sangat cantik, warnanya begitu menyilaukan, bunga mawar mempunyai duri untuk
melindungi dirinya sendiri maupun tangkainya dari siapa pun yang mencoba
memetiknya dengan kasar. Dan Ibu mengharapkan kau tumbuh seperti bunga mawar
itu nak” Ayah tersenyum tipis.
“Ayah rindu Ibu, rindu kasihnya, Ayah rindu tangan lembutnya. Dede
dan Bunga pasti rindu Ibukan? Ibu yang melahirkan kalian” mata Ayah
berkaca-kaca dan aku pun tak kuasa untuk menahan tangis.
“Jika Bunga dan Dede benar-benar rindu Ibu maka kalian bisa peluk
Ibu Rana, meski Ibu Rana bukan Ibu yang melahirkan kalian tapi dia amat
menyayangi kalian. Tangannya pun sama lembutnya seperti Ibu sayang” Ayah
menatapku dengan lembut.
“Tapi Bunga benci Bu Rana, benci tangannya, Bunga gagal pergi ke
kota gara-gara Ibu lupa mencuci baju Bunga. Apakah Ayah tidak tahu? Semua
harapan Bunga memudar seketika. Apakah pantas Bunga menghormati Bu Rana seperti
Ibu? Dia telah merebut perhatian Ayah dan Dede, merebut posisi Ibu” suaraku
menggantung di langit-langit, nada bicara dan tangisku semakin menjadi.
“Bunga, tidakkah kau tahu siapa yang menolong kamu sewaktu
kebakaran di sekolahmu itu? Tidakkah kau tahu siapa yang membuatkanmu seragam
baru sewaktu seragammu robek karna digunting teman sekolahmu itu? Tangannya
sampai tertusuk jarum nak, tapi dia tak memperdulikan lukanya itu. Dan, tahukah
kau Bunga siapa yang mencarikanmu kardus untuk tempat baju yang akan kau bawa
ke kota itu? Seharian dia mencarinya, dia rela mengangkut batu dengan jarak
yang jauh, beberapa kali tangannya terluka dan beradarah. Hanya untuk membeli
kardus yang baru. Itu sebabnya mengapa dia tak sempat mencucikan bajumu, itu
karena tangannya sudah tak mampu lagi untuk bergerak sayang. Bahkan dia tak
pernah mengadu semua ini pada Ayah dan Dede. Tidakkah kau tahu Bunga? Dia Ibu,
Bu Rana. Orang yang selalu kau benci, kau tuduh” Ayah menangis menceritakan
semuanya, baru kali pertama aku melihat Ayah menangis. Sungguh keringat Ayah
bercucuran dari dahinya.
Sungguh,
perkataan Ayah membuatku merasa bersalah. “Cukup Ayah, cukup..” aku memintanya
untuk berhenti bercerita. Dan kami pun saling terdiam beberapa menit, menangisi
semuanya. Hembusan angin semakin terasa menelusuk tubuhku. Tak ada kata yang
mampu menjelaskan, air mata sekalipun. Mungkin karena terlalu sakit, sakit
menahan rasa yang tertahan bersama sang angin. Aku hanya rindu kelembutan yang
pernah Ibu tawarkan, pelukan hangatnya ketika ku merasa menjelajahi sepi.
Jemarinya yang selalu menghapus air mata ini.
Tuhan,
lihatlah aku telah menyakiti dan membuat tangan Bu Rana terluka. Kalau Ibu tahu
mungkin Ibu akan marah padaku melihat perangaiku seperti ini, maafkan aku Ibu.
Kulihat
Ayah menatap kosong ke atas kelamnya langit, memeluk Dede. Dede hanya menunduk memeluk
baju yang akan menjadi baju kesayangannya itu. Terasa terdengar jam dinding
bergerak seakan tak beraturan. Bintang dan bulan yang menggantung di langit
sana seakan menantangku. Cat dinging yang tak cukup penuh, mewakili pikiran
tentang Bu Rana.
Setelah
lama berdiam diri, setelah mengutuk langit, bertanya, menerka-nerka jawabannya
sendiri aku memutuskan untuk membuka pintu kamarku, memutuskan untuk menemui
Ibu Rana yang tengah shalat di kamarnya. “Ibu..” aku mendesah memanggilnya.
Seketika Ibu menoleh dan menghampiriku.
“Bunga,
akhirnya kamu keluar juga sayang. Ayok makan, bukan pisang goreng lagi sayang..
Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu” Ibu mengelusku, matanya berkaca-kaca
yang sebentar lagi pasti akan pecah dan melukiskan sungai di pipi indahnya.
“Bu,
maafkan Bunga. Bunga salah, tak seharusnya Bunga memperlakukan Bu Rana seperti
ini. Maafkan Bunga Bu” aku menangis dihadapannya memeluknya dengan erat dan Ibu
Rana membalas pelukanku dengan erat penuh kasih.
Ibu
Rana selalu mengangkat kedua tangannya, tanda memohon doa kepada Tuhan. Doa
yang ia tujukan untuk kami, dia tundukan kepalanya. Mengumandangkan ayat-ayat
indah untuk keluarganya. Lihatlah tangan itu kini tak seperti tangan sembilan
tahun yang lalu, kini tangan itu terlihat rapuh, berkerut-kerut melukiskan
keperihannya, tangan yang selalu aku kibaskan, tangan yang tidak pernah kucium
saat berangkat atau pulang sekolah, tangan itu terlihat beberapa goresan luka,
terlihat sangat perih. Tangan itu Tuhan.. tangan itu, aku yang telah membuat
tangan itu seperti ini.
Tuhan,
aku sadar. Bagiku tangan Bu Rana sama dengan tangan Ibu, itu tangan paling
indah di dunia ini. Betapa bernilai dan berharga. Kasih sayang yang begitu
penuh dengan pengorbanan.
Ibu
Rana hanya menatapku lamat-lamat, mengusap tangisku dengan jemarinya. Menatap
Ayah dan Dede yang kini berada dibelakangku. Mereka menangis bahagia melihatku
melakukan semua ini.
“Meski
Bunga dan Dede bukan anak yang lahir dari rahimmu, Ibu Rana selalu tersenyum
seakan semuanya sempurna, selalu diam seakan tidak ada beban yang membebani
punggungmu. Air matamu begitu berharga Bu Rana, maaf Bunga telah membuat Bu
Rana menangis. Ibu dan Bu Rana adalah harta yang tersimpan untukku. Ketika
tanganmu mengurusku, Bunga membalasnya dengan menangis sepanjang malam. Suaramu
begitu indah, nasihatmu yang bijak itu Bunga membalasnya dengan muka muram.
Bunga menyesal Bu..” tangisku semakin menjadi-jadi. Aku tak mampu menahannya.
benar-benar tak mampu.
“Bunga
sayang, Bu Rana akan berusaha untuk menjadi Ibu yang selalu Bunga dan Dede
harapkan. Seperti Ibu yang melahirkan kalian sayang” Ibu menatapku lamat-lamat
kembali.
“Baju
Bunga sudah Ibu cuci, semua kebutuhan Bunga sudah Ibu siapkan. Besok pagi Bunga
bisa berangkat ke kota meneruskan pendidikan Bunga untuk menjadi sarjana sayang.
Bunga juga tidak usah khawatir, mobil bagus akan mengantar bunga ke kota sayang”
Ibu tersenyum melihat aku, Dede, dan Ayah. Meski masih terlihat buncahan air
mata dari mata indahnya.
“Tidak
Bu Rana, Bunga tidak mau berangkat ke kota. Bunga ingin meneruskan saja di
sini, biar Bunga bisa terus bersama Bu Rana, Ayah, dan juga Dede. Bunga tidak
mau jauh bersama kalian, Bunga ingin menebus semua kesalahan Bunga. Mencium
tangan Bu Rana setiap hari, makan pisang goreng dan teh setiap hari, membantu
Bu Rana membersihkan dapur kumuh, membantu Ayah berkeliling, menemani Dede
bermain. Bunga akan tumbuh seperti bunga mawar. Lihatlah suatu saat nanti Bunga
akan menjadi kebanggaan kalian semua, dan nanti Bunga akan memperkenalkan
kalian kepada dunia bahwa kalian adalah orangtua yang hebat, tangan Ibu tiri
yang penuh kasih sayang. Bunga sayang kalian” aku mencium tangan Ibu tiriku, Bu
Rana. Tangan itu begitu lembut, ini kali pertama aku mencium tangan Ibu tiriku,
Bu Rana.
Ayah
dan Dede menghampiri kami, memeluk kami. Malam ini empat doa menggantung
dilangit-langit bersama bintang. Semoga Ibu yang melahirkan kami mendengar dan
melihatnya dari surga sana. Aku akan menghormati Ibu tiriku, Bu Rana. Seperti
aku menghargai Ibu yang melahirkanku. Semoa tangan kedua Ibuku mampu
membuat tanganku seperti tangan mereka, yang memiliki keindahan yang abadi.
No comments:
Post a Comment