https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home Kumpulan puisi, cerpen, artikel, makalah, teks pidato, dan berbagai informasi lainnya.: cerpen "Tangan Ibuku" https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home

Friday, January 31, 2014

cerpen "Tangan Ibuku"



Tangan Ibuku
Pagi ini berembun. Rintik-tintik, sisa hujan semalam. Aku termenung di depan jendela kaca rumahku. Menempelkan wajah yang penuh dengan bulir-bulir air mata sisa tangis semalam, menangisi keberangkatanku esok lusa ke kota untuk meneruskan pendidikanku. Suara kokok ayam mulai terdengar membangunkan warga kampung, terlihat ibu-ibu paruh baya berlalulalang membawa cerangka dipundak, kepala dengan topi ilalang, memakai sepatu bot setinggi lutut, dan dengan memasang wajah yang masih terlihat kantuk. Di belokan gang terlihat segerombolan anak-anak berseragam merah putih tertawa cekikikan memegang uang seribuan, saling menggoda temannya, aku terhanyut ikut terbawa suasana menertawakan mereka.
Dede berseru memanggilku, menyuruhku untuk segera sarapan. Aku pun seketika beranjak dari kamar menghampiri Bu Rana, Ayah, dan Dede yang tengah menungguku duduk beralaskan tikar di dapur kumuh itu. Ibu Rana menyuruhku untuk duduk bersama mereka, sarapan dengan seadanya. Aku hanya mendengus tak berselera, tak biasanya Bu Rana hanya menyediakan sarapan pagi untukku ala kadarnya seperti itu. Dengan muka sebal aku pergi ke ruangan depan menahan rasa lapar. Mana ada seorang calon sarjana sarapan pagi hanya dengan secangkir teh dan pisang goreng?
Beberapa menit kemudian Ibu Rana menghampiriku, membujukku untuk segera sarapan bersama mereka. Aku memang sangat lapar, tapi di dapur sana tak ada makanan yang layak makan untuk seorang calon sarjana sepertiku. Sehingga aku hanya diam tak memperdulikan bujukkannya. Bu Rana pun kembali ke dapur kumuh itu dan meneruskan sarapannya dengan Ayah dan Dede.
Satu jam berlalu, Ayah berangkat untuk berkeliling kampung. Berkata lirih semoga ada yang membutuhkan banyak jasa kepadanya, semoga banyak sepatu yang sudah mulai rusak. Ayah hanya seorang tukang sol sepatu tapi Ayah mempunyai wajah yang sangat menyenangkan, sehingga banyak orang-orang yang selalu membutuhkan jasa Ayah meski sepatu mereka belum layak untuk diperbaiki. Ayah, melangkahkan kakinya, menapaki sepanjang jalan yang tiada berujung. Keringat yang bercucuran dia usap dengan tangan surganya. Sedangkan Bu Rana tengah sibuk membereskan rumah dengan keringat yang bercuruan dari dahinya. Sesekali dia menghela napas, mungkin capek. Dede sekarang duduk denganku, memperhatikanku yang dari tadi memegang perut. Menatapku diam-diam, berkata pelan, “Kakak lapar? Mau Dede belikan roti? Dede punya uang dua ribu sisa jajan Dede kemarin, mungkin cukup untuk membeli roti”.
Aku terkesima dengan tawaran Dede barusan, menatap tajam muka Dede yang terlihat bgitu tegang. Tak kuduga, Dede yang berumur 12 tahun menawarkan kepadaku yang lima tahun lebih tua darinya. Aku mengibaskan rambutku, menggelengkan kepalaku, berkata dingin, “Simpan saja uangmu, aku tak mau makan uang dari orang yang sedang kesusahan!”
Aku pun menjauh dari tempat duduk Dede, Bu Rana hanya sibuk menyapukan ruangan dapur yang kumuh itu. Aku harap Bu Rana tak mendengarkan perkataanku tadi kepada Dede. Dede pergi ke dapur kumuh itu. Bagus pikirku, mendengus dalam hati, tidak akan ada lagi yang memperhatikanku dan mendengarkan suara dari perut laparku.
Tak kusangka, tiba-tiba Dede mengambilkan secangkir teh yang mulai dingin itu dan satu pisang goreng.
“Kalau Kakak tidak mau Dede belikan roti, Kakak mau kan makan pisang goreng buatan Ibu?” Dede menyimpannya di dekatku. Kemudian buru-buru kembali ke dapur kumuh itu, memeluk Bu Rana yang sedang sibuk membereskan dapur kumuh itu. Tersenyum tipis atas perlakuan Dede. Percuma, seberapa keras dia membereskan dapur kumuh itu tetap saja terlihat kumuh.
Aku hanya melihat teh dan pisang goreng yang tidak memberiku selera sedikitpun itu, hanya melihatnya.
Sang raja siang pun mulai memancarkan sinarnya, lihatlah dia tidak pernah memilih harus menyinari yang mana, dia menyinari semua yang ada di bumi tanpa memperdulikan siapa dan apa yang akan dia sinari. Semoga sinarnya membawa berkah padaku hari ini. Aku pun kembali ke kamar, memasukan beberapa baju yang aku anggap masih layak pakai untuk calon sarjana sepertiku ke dalam kardus yang sudah disiapkan Bu Rana sejak kemarin. Sebelumnya Bu Rana menyiapkan kardus yang sudah terlihat menjijikan, kemudian aku merengek meminta kardus yang lebih bagus. Seharian Bu Rana mencarikan kardus permintaanku itu, dan akhirnya dia pulang membawa kardus yang tidak terlalu menjijikan dibandingkan kardus sebelumnya. Tapi ada yang aneh, Bu Rana berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari hanya untuk mencari kardus. Entah apa yang Bu Rana lakukan seharian itu, aku hampir sebal menunggunya kembali membawa kardus permintaanku.
Bajuku terlipat rapih dalam kardus itu, hanya satu yang belum ku lipat. Baju yang akan ku pakai besok, dan belum sempat kucuci. Tapi sekarang aku enggan mencuci baju, mana ada seorang calon sarjana sepertiku mencuci baju disungai yang berair coklat itu!
Aku pun meminta Bu Rana untuk mencucikan bajuku itu, dan Bu Rana spontan menyetujuinya, bersedia. “Iya, biar Ibu cucikan bajumu nak!”
Dengan lembut Bu Rana menyetujuinya, bibirnya pun tersenyum bahagia sambil mengelus rambutku dengan penuh kasih namun aku mengibaskan tangannya, “Aku kan sudah besar, jangan memperlakukan aku seperti Dede!” sambil menatap tajam Dede yang dari tadi memperhatikanku dan Bu Rana, sembunyi di balik tirai putih itu. Warna putih memang warna favoritku sejak dulu, sejak kumengenal kasih sayang Ibu yang melahirkanku. Aku sangat merindukan masa-masa dulu, masa-masa saat aku masih  tidur dengan Ibu kandungku dan Bapak. Kasih sayangnya begitu tulus, seperti warna putih tak ada noda atau beban untuk menyayangiku.
Detik-detik menuju hari keberangkatanku tinggal beberapa jam lagi. Aku tak sabar menanti hari esok, hari di mana aku akan mengenal dunia, dunia yang akan membuatku menjadi sosok yang dibanggakan dunia. Tak ada lagi dapur kumuh, tak ada lagi kampung yang begitu menghawatirkan, tak ada lagi kamar pengap, dan… dan… dan tak ada lagi ocehan Dede, tak ada lagi perangai Bu Rana dan Ayah yang selalu membuatku merasa bersalah, tak ada lagi.
Malam ini aku harus tidur dengan pulas, berharap hari esok berjalan sesuai dengan rencana. Namun entah mengapa malam ini mataku susah untuk kupejamkan, ketika mata ini terpejam tapi kutertidur tanpa lelap. Aku beranjak dari tempat tidurku, melihat langit yang begitu indah dengan kerlap-kerlip bintang dibalik jendela. Tak ada suara, hanya sepi, senyap.
Keesokan paginya aku bangun terlalu siang, semalaman aku tak bisa tidur. Hari ini rumahku sedikit terlihat bersih, inilah kali terakhir aku untuk melihat rumah ini, rumah yang selalu membuatku merasakan kejenuhan, yang telah memberikanku kenangan pahit, memberikanku merasakan kehilangan, yang selalu membuatku merasa bersalah, bersalah tak mampu menghapus keringat Bu Rana dan Bapak. Aku begitu menikmati pandanganku ke setiap sudut ruangan, tersenyum tipis mendengus dalam hati “memprihatinkan!”. Tiba-tiba Dede menyadarkanku dalam lamunan, memberikanku handuk. Mungkin maksudnya menyuruhku untuk segera mandi. Aku pun bergegas ke kamar mandi melewati dapur kumuh itu, terlihat sangat menjijikan. Namun aku sangat menikmati pandangan ini, benar-benar sangat menikmatinya.
Setelah selesai, aku pun buru-buru mencari baju yang akan kupakai ke kota. Sungguh sangat meyebalkan baju itu tidak ada dilemari. Akupun berteriak memanggil Bu Rana yang dari tadi tidak menampakkan batang hidungnya.
“Bu Rana, Ibu… baju yang akan kupakai ke kota mana? Sudah Ibu cucikan? Sudah keringkan? Bu, Ibu…”
Aku berteriak terus menerus tapi tak ada jawaban sama sekali. Aku pun berlarian ke kamarnya tapi tidak ada, di kamar Dede pun sama. Ayah dari tadi pagi sudah sibuk pergi meminjam mobil tetangga untuk mengantarku ke kota. Setelah dua jam berdiam diri tiba-tiba Ibu dan Dede pun datang. Aku pun langsung marah dan berteriak pada Bu Rana di depan pintu.
“Bu, Bu Rana kemana? Tidakkah Bu Rana tahu? Aku mencarimu, oh bukan-bukan.. aku mencari baju yang akan kupakai sekarang ke kota! Mana bajunya?” aku merengek berteriak menyalahkan Ibu.
“Ya ampun nak, Ibu lupa mencuci bajumu sayang..” dengan muka penuh penyesalan Ibu lembut mengatakanya.
“Bagaimana bisa Bu Rana lupa? Apakah Bu Rana sengaja membiarkan aku seorang calon sarjana memakai baju tidak layak pakai lalu ditertawakan oleh semua orang di kota?” nada bicaraku semakin tinggi, aku tak bisa menahan emosiku.
“Pakailah dulu baju yang ada nak, masih ada kan? Maafkan Ibu sayang!” Bu Rana mengelus rambutku dengan tangan gemetar.
“Ibu benar-benar tega, Ibu sengaja ingin membuatku malu. Aku benci Ibu, sungguh AKU BENCI  TANGAN IBU!” aku mengibaskan tangannya yang tengah mengelus rambutku dengan tulusnya. Pergi ke kamar, menangis dan mengobrak-abrik pakaian di lemari dan di kardus yang telah tersusun rapi.
“Bunga, maafkan Ibu nak.. maafkan Ibu!” Bu Rana menangis di depan kamarku.
Dan hari ini aku gagal untuk berangkat ke kota, semua harapan-harapanku pudar. Seharian aku mengunci diri di kamar, Bu Rana berulang kali mengetuk pintu membujukku untuk keluar, berulang kali meminta maaf atas tangannya yang tak berguna. Bu Rana cemas dengan perangaiku ini, “Bunga, ayok buka pintunya jangan buat Ibu cemas nak. Ibu belikan lagi baju baru untukmu, ayok keluarlah sayang”. Terdengar suaranya tersedan menahan tangis. Aku hanya diam, menutup telinga dengan bantal di sudut ruangan.
“Bunga, tidakkah kau tahu? Ibu begitu menyesal sayang.. Maafkan tangan Ibu yang tak berguna ini, selalu membuat Bunga merasakan kepahitan hidup, membuat Bunga selalu sebal, membuat Bunga menjadi malu, membuat Bunga membenci Ayah dan Dede. Ibu tahu sayang, Ibu tak mungkin bisa menggantikan Ibu yang melahirkanmu. Ibu tidak pernah sedikit pun berniat untuk merebut perhatian Ayah dan Dede dari kamu sayang. Maafkan tangan Ibu yang tak selembut tangan Ibu yang melahirkanmu. Jika Bunga memang membenci tangan Ibu, silahkan Bunga bisa pukul tangan Ibu, Ibu selalu merasa sedih ketika Bunga selalu mengibaskan tangan Ibu ketika mengelus rambut indahmu. Tangan Ibu memang tak seindah tangan Ibu yang melahirkanmu, tapi Ibu tulus sayang Bunga, Dede, juga Ayah. Bahkan Ibu begitu menghargai dan menyayangi Ibu yang melahirkanmu sayang” suaranya begitu terdengar semakin pelan, terdengar nada suara terisak.
Aku pun sudah tak mampu menahan tangis, menahan air mata jatuh  membentuk sungai di pipiku. Ini kali pertama aku menangis lagi setelah sembilan tahun kepergian Ibu, Ibu yang melahirkanku, senyumnya yang selalu terlihat menyenangkan. Bahkan dapur kumuh yang selama ini terasa menjijikan selalu nampak indah ketika masih ada Ibu. Tak ada yang mampu menggantikan posisinya, tangannya yang begitu lembut dan tulus menjagaku, menjagaku dari pahitnya kehidupan, tangan yang selalu memberikan janji kehidupan yang lebih baik. Aku rindu tangan Ibu, benar-benar merindu.
Aku semakin berkeras hati tidak akan pernah membukakan pintu meski hati kecilku ingin sekali memeluk Bu Rana meski pelukan itu tak sama seperti aku memeluk Ibu yang melahirkanku.
Aku pun terlelap tidur, setelah terbangun ternyata sudah malam. Kulihat jam di dinding ternyata sudah pukul 07.00 wib, diluar sepi sekali. Kemana Bapak? Seharian aku tak melihatnya tak mendengar suaranya, Bapak pasti sudah mengetahui kejadian ini darinya. Bu Rana? Dia pasti sedang menenangkan dirinya, sedangkan Dede? Pasti lagi asik bermain menghitung bintang, itu memang kebiasaannya setiap malam semenjak Ibu yang melahirkan kami meninggalkan kami.
Malam ini sepi tiada berawan, membuat aku hilang terbalik dikerinduan. Sendiri aku tiada berteman, menyandarkan asa pada bayangan. Menengok yang kosong, mendengar yang tak bersuara. Aku terjebak dalam kesunyian, aku terbelenggu dalam kerinduan. Ketika ku sendiri, dan membutuhkan seorang hanya sang angin yang datang. Kenapa angin? Angin tak mampu menanyakan arti wajah ini, dia tak mampu mendengarkan keluhku, dia juga tak mampu merajuk ku tertawa. Aku terhanyut dalam diam, mungkin tanpa angin aku takkan bisa hidup, hidup untuk melihat lukisan indah di bibirnya dan bola mata kecilnya.
Seketika tanpa kusadari, Dede tiba-tiba berada di balik jendela kamarku. Dede terlalu pendek jadi yang terlihat hanya tangannya saja yang melambai-lambai. Aku pun menghampirinya, membuka jendelanya. Mendekat penasaran apa yang akan Dede lakukan.
“Apa yang kau bawa? Baju? Baju siapa?” aku menatap tajam padanya.
“Ini baju Dede, baru dibelikan seminggu yang lalu oleh Ibu. Dede belum memakainya, kakak boleh memakainya. Ini ambil!” Mata Dede berputar-putar, terlihat sangat lucu membuatku ingin tertawa. Dede memang selalu membuatku tertawa dengan tingkahnya yang menggemaskan, meski beberapa kali selalu membuatku kesal semenjak kehadiran Ibu baru kami. Bahkan Ayah selalu menggoda Dede dengan gagasan bahwa Dede  lebih cantik dariku, dan Dede tersenyum bangga atas pujian yang diberikan Ayah.
“Tidak perlu, Kakak sudah tidak membutuhkan baju lagi” sebenarnya bukan tidak perlu tapi mana mungkin bajunya muat untukku kan?
“Syukurlah, kalau begitu Dede tidak akan kehilangan baju yang akan menjadi kesayangan Dede” Dede berkata pelan, mendongkak ke langit-langit. Bola matanya bergerak ke sana ke mari, sedang menghitung bintang.
“Apa maksudmu?” aku bertanya heran atas perkataan Dede.
“Tangan Bu Rana Kak, sama sekali dengan tangan Ibu. Bu Rana rela menahan rasa sakit di tangannya hanya untuk mengumpulkan uang untuk membelikan Dede baju ini. Memang harganya tak seberapa, tapi untuk mendapatkan uang yang tak besar itu Ibu rela mengangkut batu-bata dari jalan sana ke rumah sang pemiliknya, beberapa kali batu itu melukai tangan Ibu, berdarah. Ibu kira Dede tak melihatnya, padahal Dede sembunyi-sembunyi mengikuti Ibu dan sembunyi di balik pepohonan memperhatikan Ibu, memperhatikan tangannya yang begitu kuat meski begitu terasa sakit. Kalau tangan Dede yang terluka seperti itu mungkin Dede akan menangis seharian, tapi Ibu tetap saja tersenyum meski Ibu tahu dia melakukan semua ini bukan untuk anak kandungnya” Dede terisak menangis menceritakan potongan cerita itu.
“Dede tahu Kakak bertingkah seperti ini bukan karena kehadiran Bu Rana, karena Kakak terlalu takut, takut menerima kenyataan. Dede masih kecil tak tahu apa-apa seperti yang selalu Kakak bilang, tapi Dede mampu mengerti dan merasakannya Kak! Berulang kali Ibu selalu berkata lirih seusai shalatnya, berkata mengadu bahwa Ibu menyayangi Ayah, Dede, dan juga Kak Bunga meski kita bukan darah dagingnya.” Dede sekarang tak menghitung bintang lagi, tapi dia memeluk baju yang akan menjadi baju kesayangannya itu.
Tanpa kusadari Ayah ada disebelah Dede, entah dari kapan Ayah berada di sana yang pasti aku merasa kaget atas kehadirannya. Kepala Ayah menunduk, lalu ia mengusap wajahnya dengan sapu tangan. Mungkin Ayah lelah atau Ayah sedang rindu Ibu. Terlihat keringat di dahinya, menemaninya setiap dia melangkah. Menandakan bahwa Ayah menjagaku. Ayah tak pernah mengeluhkannya, hanya aku yang mengeluhkan. Ayah tak pernah mencaci keringat, namun aku yang memberinya keringat. Lihatlah Bola mata yang meneduhkan, lukisan senyum yang menguatkan, bahu yang memberi sandaran, kasih sayang yang tak pernah berubah.
“Ayah ke mana saja?” aku bertanya penasaran pada Ayah, jelas-jelas aku membutuhkan Ayah sejak kejadian tadi.
“Maafkan Ayah Bunga, Ayah tidak bisa menyewakan mobil untuk mengantarkanmu ke kota. Uang yang dikumpulkan Bu Rana dan juga Ayah tidak cukup” Ayah mengeluhkan kegagalannya.
“Uang Dede juga, Ayah!” Dede protes, namanya tidak disebut dalam daftar menyumbang menyewa mobil untukku.
“Tidak mengapa, sudah tidak penting lagi Ayah”
Aku menatap wajahnya, wajah yang selalu terlihat menyenangkan itu malam ini terlihat begitu menyedihkan.
“ Ayah kenapa?” aku bertanya pelan padanya yang sedang mengelus rambut Dede.
“Ayah sedang menghitung bintang seperti apa yang selalu Dede lakukan setiap malam kala rindu Ibu. Bunga, tahukah kau mengapa Ibu memberimu nama ‘Bunga’? Itu karena Ibu menyukai bunga mawar. Menurutnya bunga mawar itu sangat cantik, warnanya begitu menyilaukan, bunga mawar mempunyai duri untuk melindungi dirinya sendiri maupun tangkainya dari siapa pun yang mencoba memetiknya dengan kasar. Dan Ibu mengharapkan kau tumbuh seperti bunga mawar itu nak” Ayah tersenyum tipis.
“Ayah rindu Ibu, rindu kasihnya, Ayah rindu tangan lembutnya. Dede dan Bunga pasti rindu Ibukan? Ibu yang melahirkan kalian” mata Ayah berkaca-kaca dan aku pun tak kuasa untuk menahan tangis.
“Jika Bunga dan Dede benar-benar rindu Ibu maka kalian bisa peluk Ibu Rana, meski Ibu Rana bukan Ibu yang melahirkan kalian tapi dia amat menyayangi kalian. Tangannya pun sama lembutnya seperti Ibu sayang” Ayah menatapku dengan lembut.
“Tapi Bunga benci Bu Rana, benci tangannya, Bunga gagal pergi ke kota gara-gara Ibu lupa mencuci baju Bunga. Apakah Ayah tidak tahu? Semua harapan Bunga memudar seketika. Apakah pantas Bunga menghormati Bu Rana seperti Ibu? Dia telah merebut perhatian Ayah dan Dede, merebut posisi Ibu” suaraku menggantung di langit-langit, nada bicara dan tangisku semakin menjadi.
“Bunga, tidakkah kau tahu siapa yang menolong kamu sewaktu kebakaran di sekolahmu itu? Tidakkah kau tahu siapa yang membuatkanmu seragam baru sewaktu seragammu robek karna digunting teman sekolahmu itu? Tangannya sampai tertusuk jarum nak, tapi dia tak memperdulikan lukanya itu. Dan, tahukah kau Bunga siapa yang mencarikanmu kardus untuk tempat baju yang akan kau bawa ke kota itu? Seharian dia mencarinya, dia rela mengangkut batu dengan jarak yang jauh, beberapa kali tangannya terluka dan beradarah. Hanya untuk membeli kardus yang baru. Itu sebabnya mengapa dia tak sempat mencucikan bajumu, itu karena tangannya sudah tak mampu lagi untuk bergerak sayang. Bahkan dia tak pernah mengadu semua ini pada Ayah dan Dede. Tidakkah kau tahu Bunga? Dia Ibu, Bu Rana. Orang yang selalu kau benci, kau tuduh” Ayah menangis menceritakan semuanya, baru kali pertama aku melihat Ayah menangis. Sungguh keringat Ayah bercucuran dari dahinya.
Sungguh, perkataan Ayah membuatku merasa bersalah. “Cukup Ayah, cukup..” aku memintanya untuk berhenti bercerita. Dan kami pun saling terdiam beberapa menit, menangisi semuanya. Hembusan angin semakin terasa menelusuk tubuhku. Tak ada kata yang mampu menjelaskan, air mata sekalipun. Mungkin karena terlalu sakit, sakit menahan rasa yang tertahan bersama sang angin. Aku hanya rindu kelembutan yang pernah Ibu tawarkan, pelukan hangatnya ketika ku merasa menjelajahi sepi. Jemarinya yang selalu menghapus air mata ini.
Tuhan, lihatlah aku telah menyakiti dan membuat tangan Bu Rana terluka. Kalau Ibu tahu mungkin Ibu akan marah padaku melihat perangaiku seperti ini, maafkan aku Ibu.
Kulihat Ayah menatap kosong ke atas kelamnya langit, memeluk Dede. Dede hanya menunduk memeluk baju yang akan menjadi baju kesayangannya itu. Terasa terdengar jam dinding bergerak seakan tak beraturan. Bintang dan bulan yang menggantung di langit sana seakan menantangku. Cat dinging yang tak cukup penuh, mewakili pikiran tentang Bu Rana.
Setelah lama berdiam diri, setelah mengutuk langit, bertanya, menerka-nerka jawabannya sendiri aku memutuskan untuk membuka pintu kamarku, memutuskan untuk menemui Ibu Rana yang tengah shalat di kamarnya. “Ibu..” aku mendesah memanggilnya. Seketika Ibu menoleh dan menghampiriku.
“Bunga, akhirnya kamu keluar juga sayang. Ayok makan, bukan pisang goreng lagi sayang.. Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu” Ibu mengelusku, matanya berkaca-kaca yang sebentar lagi pasti akan pecah dan melukiskan sungai di pipi indahnya.
“Bu, maafkan Bunga. Bunga salah, tak seharusnya Bunga memperlakukan Bu Rana seperti ini. Maafkan Bunga Bu” aku menangis dihadapannya memeluknya dengan erat dan Ibu Rana membalas pelukanku dengan erat penuh kasih.
Ibu Rana selalu mengangkat kedua tangannya, tanda memohon doa kepada Tuhan. Doa yang ia tujukan untuk kami, dia tundukan kepalanya. Mengumandangkan ayat-ayat indah untuk keluarganya. Lihatlah tangan itu kini tak seperti tangan sembilan tahun yang lalu, kini tangan itu terlihat rapuh, berkerut-kerut melukiskan keperihannya, tangan yang selalu aku kibaskan, tangan yang tidak pernah kucium saat berangkat atau pulang sekolah, tangan itu terlihat beberapa goresan luka, terlihat sangat perih. Tangan itu Tuhan.. tangan itu, aku yang telah membuat tangan itu seperti ini.
Tuhan, aku sadar. Bagiku tangan Bu Rana sama dengan tangan Ibu, itu tangan paling indah di dunia ini. Betapa bernilai dan berharga. Kasih sayang yang begitu penuh dengan pengorbanan.
Ibu Rana hanya menatapku lamat-lamat, mengusap tangisku dengan jemarinya. Menatap Ayah dan Dede yang kini berada dibelakangku. Mereka menangis bahagia melihatku melakukan semua ini.
“Meski Bunga dan Dede bukan anak yang lahir dari rahimmu, Ibu Rana selalu tersenyum seakan semuanya sempurna, selalu diam seakan tidak ada beban yang membebani punggungmu. Air matamu begitu berharga Bu Rana, maaf Bunga telah membuat Bu Rana menangis. Ibu dan Bu Rana adalah harta yang tersimpan untukku. Ketika tanganmu mengurusku, Bunga membalasnya dengan menangis sepanjang malam. Suaramu begitu indah, nasihatmu yang bijak itu Bunga membalasnya dengan muka muram. Bunga menyesal Bu..” tangisku semakin menjadi-jadi. Aku tak mampu menahannya. benar-benar tak mampu.
“Bunga sayang, Bu Rana akan berusaha untuk menjadi Ibu yang selalu Bunga dan Dede harapkan. Seperti Ibu yang melahirkan kalian sayang” Ibu menatapku lamat-lamat kembali.
“Baju Bunga sudah Ibu cuci, semua kebutuhan Bunga sudah Ibu siapkan. Besok pagi Bunga bisa berangkat ke kota meneruskan pendidikan Bunga untuk menjadi sarjana sayang. Bunga juga tidak usah khawatir, mobil bagus akan mengantar bunga ke kota sayang” Ibu tersenyum melihat aku, Dede, dan Ayah. Meski masih terlihat buncahan air mata dari mata indahnya.
“Tidak Bu Rana, Bunga tidak mau berangkat ke kota. Bunga ingin meneruskan saja di sini, biar Bunga bisa terus bersama Bu Rana, Ayah, dan juga Dede. Bunga tidak mau jauh bersama kalian, Bunga ingin menebus semua kesalahan Bunga. Mencium tangan Bu Rana setiap hari, makan pisang goreng dan teh setiap hari, membantu Bu Rana membersihkan dapur kumuh, membantu Ayah berkeliling, menemani Dede bermain. Bunga akan tumbuh seperti bunga mawar. Lihatlah suatu saat nanti Bunga akan menjadi kebanggaan kalian semua, dan nanti Bunga akan memperkenalkan kalian kepada dunia bahwa kalian adalah orangtua yang hebat, tangan Ibu tiri yang penuh kasih sayang. Bunga sayang kalian” aku mencium tangan Ibu tiriku, Bu Rana. Tangan itu begitu lembut, ini kali pertama aku mencium tangan Ibu tiriku, Bu Rana.
Ayah dan Dede menghampiri kami, memeluk kami. Malam ini empat doa menggantung dilangit-langit bersama bintang. Semoga Ibu yang melahirkan kami mendengar dan melihatnya dari surga sana. Aku akan menghormati Ibu tiriku, Bu Rana.  Seperti  aku menghargai Ibu yang melahirkanku. Semoa tangan kedua Ibuku mampu membuat tanganku seperti tangan mereka, yang memiliki keindahan yang abadi.

No comments:

Post a Comment