CUNGKRING
Episode 2
Oleh Riska Ramdiani
(Untuk SUN yang telah pergi)
Jika kau ingin tahu,
aku tak pernah berhenti menulis puisi tentangmu, meski puisi yang menyedihkan.
Sejak chatting malam itu. Begitu
mudahnya menulis tentangmu pada bait pertama, namun begitu sulitnya mengakhiri
puisi itu pada bait terakhir. Puisi tentangmu bukan hanya sebuah barisan huruf,
terdapat makna yang tak mampu dipahami dengan satu kali baca. Aku harap, suatu
saat nanti kau akan tersipu malu ketika membaca puisi yang ku tulis itu, dan
aku akan menutup mataku rapat-rapat, mengatur napasku pelan-pelan, sungguh.
Hening.
Di sudut kursi berwarna
coklat ini, aku terdiam. Meraba jantung yang berdebar, menepuk-nepuk pipi,
menggigit bibir pelan-pelan, memejamkan mata erat-erat, menahan senyum. Oh,
Cungkring. Mengatur napas pelan-pelan, meneguk air teh yang sudah dingin,
menendangkan lagu sendu.
Membayangkan kau ada di
sini, tersenyum. Menutup wajah dengan topi hitam itu. Memanggilku dengan suara
menggelikan itu. Merayuku dengan tingkahmu yang menyebalkan itu. Berbisik,
“Berger!” Ah, kau memang selalu seperti ini, dalam bayangku saja kau masih
terlihat menyebalkan.
Andai waktu berbaik
hati kepadaku untuk sekadar berbincang dan menggodamu, aku akan mengatakan,
“Sun, makanlah berger itu sesukamu. Lalu lenyaplah, jika tidak, peluklah aku
seerat yang kau bisa. Mari kita lenyap bersama-sama.” Ah, sesedih inikah takdir
cinta.
Terlalu lewah jika aku
meminta kepada Maha Cinta agar kau menjadi milikku.
Sun, sun, sun. Si
cungkring yang menyebalkan.
Lihatlah, langit kian
menguning, senja. Cinta? Jelas bukan. Rindu? Mungkin saja. Rindu mendengar
suaranya yang terasa geli di telinga. Hah, semuanya terasa memalukan. Mengapa
takdir tak mempertemukan aku denganmu sejak dulu? Sebelum aku jatuh hati kepada
pria lain, sebelum engkau jatuh hati kepada wanita lain.
Dalam setiap sujud,
entah mengapa kau berada dalam deretan daftar nama-nama yang kutujukan kepada Maha
Cinta. Aku paham betul, bagimu ini hanya sebuah wacana. Wacana tanpa sebuah ide
pokok. Namun inilah adanya, sebuah rasa yang tak bisa kuberi nama, pun makna.
Memilikimu adalah hal
yang tidak mungkin, berusaha pun percuma. Karena kau adalah angin yang kutarik,
tapi aku hanya angin yang kau hembuskan. Kau yang buatku susah lupa, aku yang
buatmu susah ingat. Ah, kau dan aku memang ditakdirkan tidak bersama, jangankan
bersama untuk saling mengasihi, untuk berteman dekat pun takdir seperti tak
merestui.
Cungkring, sungguh
semalam kau membuatku susah tidur. Meski hanya berupa tulisan biasa, entah kau
tersenyum atau tidak ketika menulisnya. Aku sebagai pembaca begitu
menikmatinya, serasa aku telah mengenalmu lama. Semalam aku mencoba mendefinisikan
siapa dirimu bagi hati ini dengan untaian kata yang terbata-bata lewat doa
dalam sujudku disepertiga malam, selebihnya kau kudefinisikan lewat kecupan
dalam angan.
Mungkin kau menganggap
semua tulisanku hanya sebuah wacana tapi sungguh aku merasa sedih ketika kau
tak bersedia untuk membacanya. Cungkring, jika engkau memang tak merasakan hal
yang sama, berikan aku sekecup untuk perpisahan kita, menyadarkan bahwa takdir
tidak akan memberi kesempatan untuk memilikimu. Namun, jika kau merasakan hal
yang sama jangan pernah menyentuhku sampai aku engkau halalkan. Ah, kemungkinan
yang kedua tidak akan pernah menjadi mungkin.
Cungkring, jika
bahagiamu kau definisikan lewat potret. Mengapa tak kau definisikan aku dengan
potretmu? Mungkin saja ketika menjadi sebuah album potret, kau akan tahu
seberapa susah payahnya aku mencuri hatimu dengan ramah, betapa mati-matiannya menikam
rasa yang tumbuh, memunafikan hati tak menamakan ini cinta.
Tuhan, maafkan aku
telah begitu lancangnya mengagumi mahlukmu yang satu ini dengan berlebih, Sun.
...
Senja,
lagi-lagi senja.
Suara telepon genggam
mengagetkanku dalam lamunan. Kuraih perlahan, malas sebenarnya. Namun, ketika
apa yang ku baca adalah pesan darimu seketika aku terperanjat. Mengucek-ngucek
mata, mencium telepon genggam, berdiri dan berteriak-teriak kegirangan seperti
orang yang mendapatkan kuis berhadiah bebas pajak di televisi. Kegirangan.
Seketika aku pun
langsung membalas pesan itu tanpa berpikir dua kali. Pesan singkat itu
berlangsung dengan lama, aku tersenyum simpul setiap kali mendapat balasan
darinya. Menghitung detik dan menit menunggu balasan.
Awalnya aku anggap
semua ini hanya sebuah lelucon, tapi entah mengapa ada rasa yang tak mampu aku
definisikan. Semakin hari semakin terasa gila aku dan dia dalam bermain pesan
singkat. Sebelumnya aku belum pernah segila ini dengan siapapun, sekalipun
dengan orang yang aku cintai. Dialah orang yang pertama kali membuatku gila
seperti ini, Cungkring.
Dalam pesan singkat itu sesekali aku
memberikan ‘kode’ agar dia paham akan rasa, entahlah dia paham atau tidak.
Mungkin saja dia paham tapi berpura-pura tidak, atau mungkin saja dia memang
tidak paham tapi berperilaku paham. Ah, hati orang siapa yang tahu.
No comments:
Post a Comment