https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home Kumpulan puisi, cerpen, artikel, makalah, teks pidato, dan berbagai informasi lainnya.: CERBUNG episode 2 https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home

Monday, May 4, 2015

CERBUNG episode 2



CUNGKRING
Episode 2
Oleh Riska Ramdiani
(Untuk SUN yang telah pergi)

Jika kau ingin tahu, aku tak pernah berhenti menulis puisi tentangmu, meski puisi yang menyedihkan. Sejak chatting malam itu. Begitu mudahnya menulis tentangmu pada bait pertama, namun begitu sulitnya mengakhiri puisi itu pada bait terakhir. Puisi tentangmu bukan hanya sebuah barisan huruf, terdapat makna yang tak mampu dipahami dengan satu kali baca. Aku harap, suatu saat nanti kau akan tersipu malu ketika membaca puisi yang ku tulis itu, dan aku akan menutup mataku rapat-rapat, mengatur napasku pelan-pelan, sungguh.
Hening.
Di sudut kursi berwarna coklat ini, aku terdiam. Meraba jantung yang berdebar, menepuk-nepuk pipi, menggigit bibir pelan-pelan, memejamkan mata erat-erat, menahan senyum. Oh, Cungkring. Mengatur napas pelan-pelan, meneguk air teh yang sudah dingin, menendangkan lagu sendu.
Membayangkan kau ada di sini, tersenyum. Menutup wajah dengan topi hitam itu. Memanggilku dengan suara menggelikan itu. Merayuku dengan tingkahmu yang menyebalkan itu. Berbisik, “Berger!” Ah, kau memang selalu seperti ini, dalam bayangku saja kau masih terlihat menyebalkan.
Andai waktu berbaik hati kepadaku untuk sekadar berbincang dan menggodamu, aku akan mengatakan, “Sun, makanlah berger itu sesukamu. Lalu lenyaplah, jika tidak, peluklah aku seerat yang kau bisa. Mari kita lenyap bersama-sama.” Ah, sesedih inikah takdir cinta.
Terlalu lewah jika aku meminta kepada Maha Cinta agar kau menjadi milikku.
Sun, sun, sun. Si cungkring yang menyebalkan.
Lihatlah, langit kian menguning, senja. Cinta? Jelas bukan. Rindu? Mungkin saja. Rindu mendengar suaranya yang terasa geli di telinga. Hah, semuanya terasa memalukan. Mengapa takdir tak mempertemukan aku denganmu sejak dulu? Sebelum aku jatuh hati kepada pria lain, sebelum engkau jatuh hati kepada wanita lain.
Dalam setiap sujud, entah mengapa kau berada dalam deretan daftar nama-nama yang kutujukan kepada Maha Cinta. Aku paham betul, bagimu ini hanya sebuah wacana. Wacana tanpa sebuah ide pokok. Namun inilah adanya, sebuah rasa yang tak bisa kuberi nama, pun makna.
Memilikimu adalah hal yang tidak mungkin, berusaha pun percuma. Karena kau adalah angin yang kutarik, tapi aku hanya angin yang kau hembuskan. Kau yang buatku susah lupa, aku yang buatmu susah ingat. Ah, kau dan aku memang ditakdirkan tidak bersama, jangankan bersama untuk saling mengasihi, untuk berteman dekat pun takdir seperti tak merestui.
Cungkring, sungguh semalam kau membuatku susah tidur. Meski hanya berupa tulisan biasa, entah kau tersenyum atau tidak ketika menulisnya. Aku sebagai pembaca begitu menikmatinya, serasa aku telah mengenalmu lama. Semalam aku mencoba mendefinisikan siapa dirimu bagi hati ini dengan untaian kata yang terbata-bata lewat doa dalam sujudku disepertiga malam, selebihnya kau kudefinisikan lewat kecupan dalam angan.
Mungkin kau menganggap semua tulisanku hanya sebuah wacana tapi sungguh aku merasa sedih ketika kau tak bersedia untuk membacanya. Cungkring, jika engkau memang tak merasakan hal yang sama, berikan aku sekecup untuk perpisahan kita, menyadarkan bahwa takdir tidak akan memberi kesempatan untuk memilikimu. Namun, jika kau merasakan hal yang sama jangan pernah menyentuhku sampai aku engkau halalkan. Ah, kemungkinan yang kedua tidak akan pernah menjadi mungkin.
Cungkring, jika bahagiamu kau definisikan lewat potret. Mengapa tak kau definisikan aku dengan potretmu? Mungkin saja ketika menjadi sebuah album potret, kau akan tahu seberapa susah payahnya aku mencuri hatimu dengan ramah, betapa mati-matiannya menikam rasa yang tumbuh, memunafikan hati tak menamakan ini cinta.
Tuhan, maafkan aku telah begitu lancangnya mengagumi mahlukmu yang satu ini dengan berlebih, Sun.
...
Senja, lagi-lagi senja.                          
Suara telepon genggam mengagetkanku dalam lamunan. Kuraih perlahan, malas sebenarnya. Namun, ketika apa yang ku baca adalah pesan darimu seketika aku terperanjat. Mengucek-ngucek mata, mencium telepon genggam, berdiri dan berteriak-teriak kegirangan seperti orang yang mendapatkan kuis berhadiah bebas pajak di televisi. Kegirangan.
Seketika aku pun langsung membalas pesan itu tanpa berpikir dua kali. Pesan singkat itu berlangsung dengan lama, aku tersenyum simpul setiap kali mendapat balasan darinya. Menghitung detik dan menit menunggu balasan.
Awalnya aku anggap semua ini hanya sebuah lelucon, tapi entah mengapa ada rasa yang tak mampu aku definisikan. Semakin hari semakin terasa gila aku dan dia dalam bermain pesan singkat. Sebelumnya aku belum pernah segila ini dengan siapapun, sekalipun dengan orang yang aku cintai. Dialah orang yang pertama kali membuatku gila seperti ini, Cungkring.
 Dalam pesan singkat itu sesekali aku memberikan ‘kode’ agar dia paham akan rasa, entahlah dia paham atau tidak. Mungkin saja dia paham tapi berpura-pura tidak, atau mungkin saja dia memang tidak paham tapi berperilaku paham. Ah, hati orang siapa yang tahu.

No comments:

Post a Comment