https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home Kumpulan puisi, cerpen, artikel, makalah, teks pidato, dan berbagai informasi lainnya.: CERPEN PENA MELUKIS RINDU DALAM HUJAN https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-9308896189900728/home

Monday, May 12, 2014

CERPEN PENA MELUKIS RINDU DALAM HUJAN



PENA MELUKIS RINDU DALAM HUJAN
Karya: Riska Ramdiani
Dia sudah seperti mempunyai tempat tidur sendiri di relung hati ini, dia kini telah terbangun dari tidur panjangnya, sehingga dia dengan seenaknya saja menganggu malam-malam tidurku. Bahkan saat terbaring lemah di rumah sakit seperti ini pun, rindu ini tetap milik pemuda itu. Setiap kali ku lukis dan kuingat sketsa wajahnya dengan teganya dia membuatku mati rasa sehingga membuatku selalu merindukannya. Beginilah kehidupanku sejak delapan tahun yang lalu, sejak masa cinta monyet itu. Cinta yang tak pernah kumengerti selama delapan tahun ini. Delapan tahun menyimpan sejuta asa, delapan tahun menyimpan tangisan yang terluka, delapan tahun memendam rindu yang mengganggu, dan selama delapan tahun tulisan tanganku tentangnya, meski mata ini tak pernah melihat derasnya hujan lagi, meski kaki kanan ini tak bisa membawaku menerobos derasnya hujan lagi.
Rasanya sakit sekali harus merasakan detakan jantung yang keras sampai-sampai membuat perutku sakit setiap kali merindukannya. Masih kuingat desahan nafasnya setiap kali berbicara seakan beraturan senada dengan hembusan angin malam ini, melodi suaranya terngiang jelas di telingaku seperti sudah mempunyai dialek tersendiri, suara senyum pekatnya membuat mata ini begitu ingin sekali terpejam dan mendekatkan wajahku pada wajahnya.
Malam ini begitu dingin menelusuk seluruh tubuhku, tapi kaki kananku tak mampu merasakan dinginnya malam ini, entahlah. Kulirik jendela ruang tempatku berbaring, diluar sana hujan sedang turun. Aku pun tersenyum melihat tetesan hujan yang turun dari langit yang gelap ini, “Hujan? Pemuda itu?” ucapku dalam hati.
Masih ku ingat, pada sore hari yang hujan setelah aku membeli sebuah payung berwarna biru, di depan toko payung itu tiba-tiba aku melihat seorang pemuda yang mungkin telah menunggu reda hujan sejak lama. Hey, dia adalah seorang pemuda yang telah menjalin cinta denganku dulu, ketika aku berusia 12 tahun dan pemuda es itu berusia 15 tahun. Pemuda yang selalu aku rindukan dalam hujan, pemuda yang menjadi doa dalam setiap tetesan hujan. Meski aku berteduh ditempat yang tak terjamah air hujan, segera ku buka payung berwarna biru yang baru saja kubeli. Entahlah, meski aku berteduh ditempat yang tak terjamah hujan tapi aku selalu mengenakan payung. Itu memang kebiasaan burukku yang selalu ditertawakan Ibu.
Ku perhatikan diam-diam, pemuda itu memakai seragam putih, pemuda yang kini telah menjadi seorang dokter. Aku menyatakan kepadanya yang tak berpayung, “datanglah di bawah payungku!” dan pemuda itu menghampiriku diiringi dengan senyum manisnya. Air hujan yang jatuh membasahi di antara dua hati yang bernaung di bawah payung kecil. Kita larut dalam cengrama syahdu. “Datanglah lebih dekat!” ucapku dalam hati. Bahupun beradu dengan lembut, kita antara hujan dan cinta.
Pemuda itu tak berkata sedikit pun, dia hanya tersenyum dan tangannya memegang tanganku yang sedang memegang payung. Sungguh pemuda ini membuatku kehabisan akal untuk melakukan sesuatu, membuatku seakan terlihat bodoh setiap kali ditatapnya, membuatku kehilangan kata-kata yang sebelumnya sudah tertata rapi di otakku dari A-Z seperti KBBI, membuat aku lupa bagaimana caranya tersenyum simpul, bahkan membuat aku lupa siapa namaku dan siapa aku sebenarnya, semuanya memang terlihat sangat konyol. Tuhan, maafkan aku telah berani-beraninya mengagumi mahluk ciptaan-Mu itu dengan berlebihan. Sungguh, pemuda itu begitu membuat aku tak mengerti. Namun entah mengapa semuanya terasa bermakna, meski aku tahu dia tak akan mungkin mempunyai perasaan dan rind yang sama denganku. Pun aku sadar aku takkan pernah bisa membuatnya menjadi milikku dan membuatnya merindukanku, benar-benar takkan pernah bisa.
Selama 20 menit tak ada pembicaraan apa pun, hanya suara gemercik hujan. Tangannya tetap menyentuh tanganku yang memegang payung, kami sama-sama memegang payung tempat kami berteduh. Sayangnya, matanya tak melihatku. Matanya melihat air hujan yang turun dari langit, entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin pemuda itu sedang asik menghitung tetesan air hujan, atau berdoa dalam hati agar hujan segera reda, atau mungkin pemuda itu melakukan hal sama denganku selama delapan tahun ini, melukis rindu dalam hujan. Tapi siapa yang dia rindukan?
Aku merasa heran dengan tingkahnya itu, ingin sekali aku bertanya kepadanya masihkah dia mengingatku setelah selama delapan tahun tak bertemu. Jika pemuda itu masih mengingatku mengapa dia tak bertanya tentang kabarku, jika pemuda itu tak mengingatku mengapa pemuda itu memegang tangan orang asing? Sungguh, aku tak habis pikir.
“Aku masih mengingatmu” ucap pemuda itu dengan nada datar. Oh Tuhan, lemas sudah sekujur tubuhku mendengar ucapannya.
“Ee.. iya” aku dibuat bodoh olehnya.
Pemuda itu tiba-tiba melepaskan pegangan tangannya. Ternyata pemuda itu masih sama seperti dulu, dingin. Ya, sedingin musim hujan saat ini.
“Kalau penyakit MAG kamu kambuh, kamu bisa menghubungiku untuk meminta resep obat. Aku bisa melakukannya untukmu” ucapnya lagi, masih dengan nada yang sama, datar. Aku pun heran, dari mana pemuda itu mengetahui kalau aku mempunyai penyakit MAG? Pemuda itu benar-benar aneh.
“Tak usah khawatir, banyak pasien yang datang padaku dengan berbagai penyakit yang mereka keluhkan. Dan mereka sembuh sebab aku yang mengobatinya, dan Allah yang menyembuhkannya”
“I..iya” jawabku gugup.
“Ternyata kau masih seperti dulu, bodoh” ucapnya datar sambil bergegas pergi menerebos rinai hujan dan meninggalkan aku sendiri tanpa memberiku kesempatan untuk memprotes pernyataannya itu.
Aku hanya bisa mengkerutkan kening, tak mengerti atas ucapnya yang terakhir. Bodoh? Apa maksudnya? IPK terakhirku saja 4,00. Bagaimana bisa pemuda es itu menyimpulkan aku bodoh?
***
Menunggu, bagi kebanyakan orang memang hal yang sangat membosankan. Tapi tidak bagiku, menunggu adalah hal sangat menyenangkan, kenapa? karena bagiku pekerjaan menunggu selalu mengajarkan kita untuk meyakinkan diri sendiri terhadap keyakinan yang kita yakini. Seperti halnya aku yang selalu menunggunya, menunggu dia untuk menyisihkan waktu untukku, menunggu dia untuk bisa memelukku dari belakang dan berbisik padaku bahwa dia bahagia memelukku saat itu, menunggu dia untuk berani menggenggam tangan ini dihadapan banyak orang, menunggu dia untuk mengizinkan aku meraba halis jeleknya itu, menunggu tangisnya ketika aku merasa lelah, sungguh menunggu itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku bisa berhayal banyak terlebih dahulu sebelum sesuatu yang kutunggu itu datang, meski apa yang ku khayalkan belum tentu akan terjadi. Hey, tapi itu adalah hal yang teramat menyenangkan, aku bisa tersenyum sendirian, menggerakkan bola mata dengan bebasnya, dan cemberut ketika menyadari bahwa disekelilingku menertawaiku dengan jailnya. Aku senang terlihat bodoh dihadapannya, karena dengan kebodohanku inilah aku bisa melihatnya tertawa manja dan tertawa puas kepadaku, dan aku sangat menikmati tawanya itu.
Bahkan saking menikmati indahnya menunggu aku sampai lupa bahwa aku telah terlalu lama menunggu khayalan-khayalan itu untuk terwujud. Andai saja khayalan-khayalan itu terwujud, aku takkan pernah takut untuk berkhayal lagi bahkan sampai khayalan yang tak masuk nalar karena aku yakin akan ada waktu dimana semua khayalan ini terwujud meski bukan saat ini.
Menunggu? Iya, satu bulan aku menunggunya di depan toko payung itu jika hujan datang, tapi pemuda itu tak pernah ku temui lagi. Di mana bisa kutemui pemuda itu? Setiap sore aku mengunjungi tempat berteduh itu, tapi tak kutemui. Bahkan, pagi dan siang aku mengunjungi tempat itu tetap saja nihil. Dan setelah satu bulan pertemuan itu, pada suatu sore yang hujan pun sudah setengah jam aku berdiri di tempat berteduh itu, dengan memakai payung yang sama, payung berwarna biru. Aku menatap kosong setiap tetes hujan yang turun dari langit, sama seperti yang pemuda itu lakukan waktu itu.
“Kau menungguku? Bodoh. Mana mungkin aku setiap hari menunggu hujan reda di tempat ini. Tempatku di Rumah Sakit, bukan di toko payung ini” dia tersenyum menggoda yang mendapatiku sejak tadi berdiri di sini. Pemuda itu masih tetap memakai seragam putihnya, masih pula dengan sikap dinginnya.
“Ee..Tidak, aku menunggu reda hujan. Bukan menunggumu” kataku mengelak dengan spontan, aku kaget melihatnya tiba-tiba ada di sana.
“Bodoh!” pemuda itu bergegas pergi lagi menerobos derasnya hujan meninggalkanku dengan mengucapkan hal yang tidak bisa kuterima seperti satu bulan yang lalu, tapi hey pemuda itu memberikan tisu dengan catatan alamat rumah. Sungguh, pemuda itu masih gengsi seperti dulu. Apa maksud pemuda itu? Menyuruhku untuk datang ke rumahnya? Iya! Seketika hatiku terasa terbang, rasanya ingin sekali menerobos derasnya hujan dan menari-nari di tengah-tengah derasnya hujan itu seperti film-film india. Tapi urung kulakukan, aku takut orang-orang yang ada dalam toko payung itu menertawaiku dan memotretku kemudian mereka upload ke media sosial dan menjadi trending topic di twitter. Dan mencantumkan tulisan “Pena alay”. Oh tidak, itu mimpi buruk. Aku hanya berdiri di sana meunggu hujan reda, dan tisu itu aku simpan disela-sela buku KBBI yang sejak tadi ku dekap.
***
Minggu sore itu hujan urung turun padahal langit sudah mengabu, dan aku tidak ingin lagi mengunjungi tempat berteduh itu lagi karena aku akan dibilang bodoh lagi oleh pemuda es itu. Sore ini aku memutuskan untuk duduk di halaman rumah, memandang langit yang mulai senja. Syukurlah sore ini hujan tidak turun, aku tak perlu lagi merasakan sakit perut yang amat dahsyat karena merindukannya dalam hujan. Hey, lihatlah! Lagi, di langit itu terlukis sketsa wajahnya yang remang-remang, ku gosok-gosok mataku tetap saja sketsa wajahnya terlukis di langit yang mulai senja itu, ku tutup mataku dengan erat kemudian ku buka mata lagi secara perlahan dan sialnya wajahnya tetap terlukis di langit itu. Mungkin jika pemuda itu melihatku seperti ini, dia akan mengatakan “bodoh!”, ah sudahlah aku memang selalu terlihat bodoh di matanya.
Ya, begitulah. Meski hujan tak turun, tapi wajahnya tetap saja terlukis di langit itu. Sungguh, aku tersiksa dengan semua ini. Telah puas aku menunggu dan berkhayal tentangnya, tapi aku tak bisa menyentuh wajah indahnya. Bahkan jika aku diberikan satu permintaan, Tuhan, izinkan aku untuk mencium bibirnya sekali saja untuk membiarkan dia pergi, melepaskan dia jika memang Kau tak menakdirkan dia bukan untukku, setidaknya aku pernah merasakan dinginnya bibir itu.
Belum pernah sebelumnya aku melakukan hal bodoh seperti ini, aku dengan bodohnya selalu mengaharapkan dia menemuiku di tempat berteduh itu disela-sela kesibukkannya mengejar mimpi. Aku tahu dia adalah seorang pemuda yang mempunyai banyak mimpi, seorang pemuda yang begitu mencintai dunianya, seorang pemuda yang tak pernah memperdulikan cinta. Tapi tidak bisakkah sekali saja Kau buat pikiran dan hatinya untuk memperdulikan  aku, Tuhan? Sekali saja. Aku lelah memimpikannya setiap malam, menulis tentangnnya setiap senja datang, menunggunya dengan penuh cemas, tapi aku tak juga bertemu dengannya. Tuhan, tolong berikan kesempatan untukku bertemu dengannya meskipun hanya beberapa menit, meski hanya hening, meski tanpa kata, aku hanya ingin memeluknya memberitahukannya bahwa aku masih menyayanginya karena-Mu.
Hey, kau! Kau pemuda yang begitu dingin sedingin musim hujan saat ini, aku begitu terlalu menaruh harapan besar terhadapmu. Mengapa kau harus terlahir di dunia ini jika kau tak mencintaiku? Bertahun-tahun aku menunggumu, menjaga cinta dan raga ini. Tidakkah kau iba denganku? Sedikit saja. Andai saja seluruh isi yang ada di dunia ini adalah milikku, aku akan menukarnya kepada Sang Maha Pencipta untuk memilikimu seutuhnya, ataupun hanya untuk memilikimu lima menit saja aku tetap akan menukarnya.
Lama aku menatap langit. Aku bergegas mengambil KBBI atas meja belajarku di kamar yang bercat biru, biru? Itu warna kesukaanku. Ku ambil tisu yang terselip di KBBI itu, seketika pikiranku terasa ada lampu neon 10 watt, sangat terang. Aku memutuskan besok aku harus memberanikan diri untuk menemuinya di rumahnya, di rumah pemuda es itu.
***
Marah? Mendengar kata marah memang hal yang membuatku tersenyum kecut, aku tak bisa marah padanya meski beberapa kali dia selalu membuatku kecewa dan aku tak tahu apakah hal ini akan sama atau tidak jika pria itu bukan dia.
Tuhan, jika memang dia tak mencintaiku tolong berikan rasa marah ataupun rasa benci terhadapnya sedikit saja. Tapi jika dia mencintaiku tolong jangan pernah Kau menuangkan rasa marah ataupun rasa benci terhadapnya. Jika Kau menakdirkan dia untuk menjadi Imamku kelak, aku berjanji akan senantiasa memperbaiki diri dan bersimpuh hanya pada-Mu, aku akan menjadi seorang perempuan yang selalu menjadi payung ketika dia kehujanan, aku akan menjaganya dengan sepenuh hati sesuai dengan perintah-Mu ya Rabb.
Keesokan harinya, siang itu aku bergegas menuju alamat rumah yang tertulis di tisu, dengan tulisan tangan yang tidak terlalu rapi. Aku menaiki sebuah angkotan umum yang akan mengantarkanku ke tempat alamat yang tertulis di tisu itu. Sepanjang jalan hatiku resah dibuatnya, entah apa yang harus kukatakan padanya nanti. Setelah setengah jam akhirnya aku tiba di sebuah rumah, ku lihat alamat rumah pada dinding rumah itu, ku cocokkan dengan tulisan alamat rumah yang ada pada tisu. Hey, benar! Alamatnya sama.
Tapi tunggu, mengapa rumah ini begitu ramai? Seperti ada sebuah acara pernikahan. “Siapa yang menikah? Pe..pemuda es itu? Sungguh? Ti..tidak mungkin!” ucapku dalam hati.
“Kau datang juga, Pena” suara yang sangat ku kenal mengangetkanku dalam lamunan.
“Kau..kau mengagetkanku!” kataku kaget.
“Bodoh!” ucapnya datar.
“Tidak bisakah kau tak mengucapkan kata itu?” kataku protes.
Dia hanya tersenyum dan menatap mataku dengan dalam.
“Pandangan mata yang mencurigakan, bicaralah jika ada yang ingin kau bicarakan!” kataku datar. Aku tahu jika dia susah memandangku seperti itu pasti ada yang mau pemuda es itu katakan, dan aku takut mendengar pernyataannya.
“Maaf” ucapnya dan tiba-tiba memelukku dengan erat.
Aku terkujur kaku dibuatnya, aku tak bisa menolak pelukannya. Pelukan hangat yang selalu aku impikan selama delapan tahun yang lalu. Tapi apa maksud pemuda es itu? Apa yang harus aku maafkan darinya? Sungguh entah mengapa langit begitu seakan turut berbahagia. Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, kami larut dalam hujan.
“Langit begitu tega padaku, aku benci hujan” bisiknya pada telingaku. Aku mencoba melepaskan pelukkannya, aku benci terhadap orang yang membenci hujan. Tapi pelukannya begitu erat, aku tak bisa melawannya.
“Hujan adalah temanku, bisakah kau tak membencinya?” ucapku dengan diiringi tetesan airmata yang terasa keluar dari mataku bercampur dengan air hujan.
“Dan sekarang aku akan membuatmu membenci hujan. Hujan kini bukan temanmu lagi, Pena” ucapnya kalap.
“Kita dipertemukan dengan hujan, dan kita akan terpisahkan dengan hujan. Tidak ada lagi hujan, tidak ada lagi aku. Tidak ada!” teriaknya dengan semakin erat memelukku.
“Lepaskan aku, jangan kau peluk aku lagi jika kau membenci hujan. Karena hujan adalah temanku. Jika kau membenci hujan, sama saja kau membenciku” teriakku kalap.
“Hujan hanya turun dan meninggalkanmu, hujan hanya membuatmu basah kuyup, hujan hanya akan membuatmu..” ucapnya lembut berbisik pada telingaku.
“Cukup!” ucapku lemah.
“Aku akan menikah nanti malam, aku akan menjadi Imam bagi wanita lain. Bukan kau, Pena” ucapnya kalap dan melepaskan pelukannya.
Sungguh, dadaku terasa sesak mendengar pernyataannya. Menikah? Wanita lain? Menjadi Imam bagi wanita lain? Bukan aku? Seketika rasanya aku ingin mengutuk langit, bahwa aku tak menginginkan hujan turun lagi dari langit. Aku tak ingin lagi melukis rindu dalam hujan. Aku hanya terdiam kaku menatap wajah yang menyenangkan itu.
“Tak usah lagi kau melukis rindu dalam hujan, hujan telah membuatmu berpisah dengan orang yang selalu kau lukis rindunya. Maafkan aku telah membuatmu menunggu, membuatmu selalu basah kuyup ketika hujan turun. Membuatmu resah sepanjang malam. Membuatmu menyia-nyiakan waktumu untuk selalu berkorban dan menyayangiku dengan tulus selama delapan tahun ini. Maafkan aku, kau berhak membenci aku dan hujan” ucapnya lemah.
Aku hanya menangis tak mampu berkata apa pun, rinai hujan dengan teganya menyerbu tubuhku dengan dinginnya.
“Pergilah, Pena. Jangan pernah kau lukis rindumu padaku dalam hujan, karena hujan memisahkan kita” ucapnya lemah kembali.
“Jangan menangis, jangan menangis karenaku. Karena hal itu membuatku semakin bersalah” tangannya menghapus airmata dan hujan dalam pipiku.
Oh, Tuhan, betapa teganya kau menakdirkan aku telah mencintai pemuda itu, pemuda yang merasa bersalah karena perasaanku. Oh, Tuhan, mengapa Kau tak menakdirkan aku menjadi wanita yang akan dinikahinya nanti malam? Betapa bahagianya wanita itu yang telah ditakdirkan untuk menjadi teman hidup seorang pemuda yang selalu aku rindukan.
“Aku tak menangis, tak ada yag harus ku tangisi. Yang kau usap itu bukan air mataku, itu air hujan” kataku lemah.
“Mengapa kau selalu bodoh, Pena? Aku bisa membedakan mana air matamu dan mana air hujan, aku sangat mengenal air matamu. Tak usah lagi kau berusaha kuat, kau ini wanita lemah. Wanita lemah yang tak bisa berusaha berhenti melukis rindumu padaku dalam hujan” teriaknya kalap.
“Aku bukan wanita bodoh, juga.. juga lemah” teriakku melawan teriakkannya.
“Silahkan menangis, Pena. Kau harus berjanji padaku, tangisanmu ini adalah tangisanmu yang terakhir kalinya untuk menangis karnenaku. Berjanjilah!” ucapnya dengan lembut memegang kedua tanganku.
“Mas…” teriak seorang wanita cantik berjilbab putih.
“Aku harus pergi” kataku sesak.
“Pena, pena” tiba-tiba dia mencium keningku, iya mencium keningku dihadapan seorang wanita yang akan dinikahinya nanti malam. Entah apa yang ada dalam pikiran pemuda es itu, bagaimana teganya dia mencium wanita lain dihadapan wanita yang akan menjadi miliknya seutuhnya nanti malam. Jika aku menjadi wanita itu, aku akan begitu marah padanya. Oh, Tuhan, pemuda itu membuatku kalut.
Aku pun langsung bergegas pergi meninggalkannya, dan berlari melewati wanita berjilbab putih yang sedari tadi berdiri menyaksikan adegan terburuk baginya. Ketika ku berlari mataku terasa remang-remang, mungkin air hujan mengahalangi mataku untuk melihat, tiba-tiba ada hentakan dahsyat yang menyerang tubuhku dari belakang, aku tertabrak mobil.
Entah apa yang terjadi setelah adegan itu, entah siapa yang membawaku ke rumah sakit ini, entah siapa. Kini aku hanya sendiri, menikmati taraian rinai hujan yang turun dari langit yang gelap. Kurasakan air mata jatuh dari sudut mataku. “Maaf, aku menangis lagi karena mengingatmu, Mas” ucapku pada rinai hujan.
“Pena..” terdengar suara seorang wanita yang rasanya asing di telingaku. Aku melihatnya, seorang wanita berjilbab putih.
“Aku tahu kau amat mencintainya, Pena. Pun aku sama, aku mencintainya. Tapi kini aku harus melepaskannya” ucapnya lemah dengan suara terputus-putus karena tangisnya.
“A..apa, apa mm..maksudmu?” kataku tak mengerti.
“Dia tak ingin bertemu lagi denganku, Pena” wanita berjilbab putih itu menundukan kepalanya, menghapus air matanya dengan sapu tangan berwarna putih.
“Kenapa? Bukankah kalian pengantin baru?” kataku datar.
“Semalam tak ada pernikahan, tak ada ijab qabul. Semalam ti..tidak..” suaranya melemah, mendadak terdiam menahan tangis.
“Pena, kemarin sore kau kecelakaan. Sebuah mobil berlaju dengan kerasnya, menghantam tubuhmu. Aku dan pemuda yang selalu kau rindukan itu membawamu ke rumah sakit ini, ketika dokter memvonis bahwa kaki kananmu lumpuh karena hentakan mobil yang sangat dahsyat membuat tulangmu kaki kananmu patah, ketika itu pemuda yang selalu kau rindukan itu berlari meninggalkanku sendirian dirumah sakit ini, dia berlari ke tempat toko payung, ketika dia akan beranjak pulang tiba-tiba..tiba-tiba..” wanita berjilbab putih itu terdiam dalam tangisnya.
“A..apa?” kataku cemas.
“Dia tertabrak mobil pula, kepala dan tubuhnya terbanting keras ke lantai jalanan, ke..kepalanya mengeluarkan begitu banyak darah, dan..dan..dan matanya..matanya kini tak bisa lagi melihat, Pena. Apa yang harus kulakukan, katakan padaku, katakan!” wanita itu menangis terisak.
Aku hanya bisa terdiam mendengar berita terburuk ini, akulah yang telah membuat wanita berjilbab putih ini menangis terisak, merusak kebahagiaan pemuda es dan wanita berjilbab putih ini, membuat mata indah pemuda itu tak mampu lagi melihat wanita yang berjilbab putih ini. Aku yang telah membuatnya seperti ini, Tuhan.
“Tak usah menangis, aku akan membayar semuanya. Aku akan membayar kesedihanmu ini, aku akan membayar kebahagian kalian yang tertunda ini. Maafkan aku” kataku lemah.
“Aku akan memberikan kedua mataku ini untuk pemuda yang akan menikahimu kemarin malam” kataku datar.
“A..apa?” wanita itu tersontak kaget.
“Aku tak mempunyai kaki kanan, aku tak bisa lagi berlari menerobos derasnya hujan, aku tak bisa.. jadi untuk apa aku bisa melihat jika aku tak bisa melakukan hal itu lagi” kataku lemah.
“Jangan, Pena. Jangan kau lakukan itu” wanita berjilbab itu memprotes.
“Yang aku butuhkan bukan mata, yang aku butuhkan hanya kaki dan tangan. Kaki yang membawaku berlari menerobos hujan, meski kini aku hanya mempunyai satu kaki, kaki kiri saja. Tapi aku masih mempunyai dua tangan yang akan masih bisa menyentuh dan merasakan tetesan air hujan. Aku tak membutuhkan kedua mata ini, benar-benar tidak membutuhkannya. Beritahu dokter bahwa aku akan memberikan kedua mataku ini untuk pemuda yang kau cintai dan mencintamu itu” kataku putus asa.
Wanita berjilbab putih itu pun bergegas pergi meninggalkan ruangan ini, wanita berjilbab putih itu mengurus segala keperluan operasinya. Aku tidak menyesal, dan aku tidak akan pernah menyesal.
***
Hujan, malam ini hujan lagi. Aku mendengar suara hujannya, begitu menenangkan dan aku mulai merindukannya lagi. Oh, Tuhan, semuanya gelap, hitam. Aku tahu, kini aku tak mempunyai mata untuk melihat. Aku masih berada di rumah sakit, aku begitu mengenal suasana rumah sakit ini. Ku coba menopang tubuhku untuk mencari jendela, tapi apa yang terjadi? Kaki kananku begitu sulit untukku gerakkan. Bodoh, aku pun baru sadar kini kaki kananku lumpuh. Ku coba terus mencari jendela kamarku dengan tertatih-tatih, dengan badan yang terasa remuk. Semuanya terasa menyesakkan, Tuhan.
Setelah beberapa menit akhirya aku menemukan jendela kamar rumah sakit ini. Ku raba jendela itu, dingin. Apa? Dingin?, “Pemuda itu” keluhku dalam hati.
“Pemuda itu kini tengah berbahagia dengan wanita lain, bukan kau, Pena” ucap Ibu lemah mengagetkanku. Meski au tak mampu melihat, telingaku sangat mengenal suara indah Ibu.
“Aku pun bahagia, Bu” ucapku datar.
“Bagaimana bisa kau bahagia tanpa kaki kananmu yang selalu membawamu menerobos derasnya hujan? Tanpa kedua matamu untuk melihat derasnya hujan, Pena?” Teriak Ibu dengan lembut, dan terdengar isak tangisnya.
“Ibu jangan menangis. Pena tetap bahagia” ucapku lemah, aku pun tak kuasa menahan tangis.
“Berhenti menangis, Pena. Kau tak pantas untuk menangis, kau pantas untuk bahagia” Bujuk Ibu kemudian memelukku. Tuhan, terima kasih Kau telah menakdirkan seorang wanita yang kini tengah memelukku untuk menjadi Ibuku.
Ya, beginilah. Inilah kehidupanku sekarang, tanpa kaki kanan, tanpa kedua mata. Semoga pemuda yang berusaha membuat aku membenci hujan berbahagia dengan wanita berjilbab putih itu. Hey, pemuda es! Maafkan aku, maafkan aku yang tidak akan pernah bosan melukis rinduku padamu dalam hujan. Hadirkan aku dalam tidurnya kala hujan datang, Tuhan. Hadirkan meski hanya sekejap, agar dia mengingatku meski hanya dalam mimpinya saja. Meski ketika terbangun dia tak mengingatku lagi.

No comments:

Post a Comment